Pages

Minggu, 30 Juni 2013

Silver Rainbow



Pelangimu selalu itu-itu saja? Tipikal me-ji-ku-hi-bi-ni-u? Ah, sayang sekali. Tunggu, mungkin sesekali kau perlu mengganti tinta paradigma dalam dirimu. Siapa tahu, kejutan mendebarkan akan menyapamu. dalam bentuk pelangi dengan gradasi atau pilihan warna yang lain, misalnya.

Seperti pelangiku, yang tetiba dihantar semesta dalam warna yang mendegupkan jantung. Silver.

Selasa, 25 Juni 2013

Lain Rumah, Lain Cerita, Jemari yang Sama

Hai. Its me. Again. Yeah, saya pelabil sejati untuk urusan per-blog-an. Entah terlupa kata kunci, entah malas membacai lagi apa yang saya tulis pada momen-momen "ajaib", entah sel abu-abu dalam kepala saya yang terus mengetuki pintu minta dicarikan rumah baru. Aye, captain, lets build a new one, then.

Ada berkantung-kantung cerita segar dalam kepala, yang terkadang ingin ditebar ke sekitaran bagai angin yang meniupi kelopak-kelopak bunga hinga tersebar ke delapan penjuru mata angin. No, no, jangan berharap segala cerita akan menyematkan label hap-py-en-ding di akhir ceritanya. Saya tak pandai merangkai akhir semanis gula-gula. Saya hanya bisa memindahkan drama dalam kepala, yang citarasanya seperti isi toples rempah-rempah yang berderet di kabin dapur. Pahit, asam, manis, getir, pedas, asin. Itulah hidup, bukan?

Ah, sudahlah, biarkan saya berdetak, agar kamu, kamu, dan kamu yang ada di ujung sanaaa akan tersedak saat mampir kemari.

Senin, 24 Juni 2013

TITAH MERAH

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh penduduk Negeri Naga mengular rapi dari ujung Gerbang Kota hingga batas karpet merah tanda pintu masuk istana dimulakan. Jika saja ada yang meneropong dari angkasa, akan tampaklah bentuk serupa kue donat spiral yang biasa dijajakan hangat-hangat di Pasar Kota. Apalagi, kontur tanah kota ini memang layaknya tumpeng nasi kuning saja, dengan istana bercat putih silau di puncaknya. Puncak negeri, dan puncak keriuhan hari ini, sepertinya.

“Salah! Bukan ikan bakar semacam ini yang kumau. Sudah berapa lama kau menjadi koki istana??!!”
“Ampun, Ratu, hamba sudah berusaha memasak hidangan persis seperti yang Ratu inginkan. Ikan Bilih segar yang langsung dibakar di tepi sungai. Lengkap dengan sambal cabe mangga muda dan sedikit saus kesemek tua seperti permintaan Paduka.”
“Lalu mengapa ikan-ikan ini banyak yang gosong!! Tak sayangkah kau dengan nyawamu?!”
“Aa..ammpunn, Ratu, resep semacam ini memang belum pernah hamba dengar sebelumnya. Ikan bilih memang tak ada yang besar bentuknya, semua tak lebih dari bayi-bayi gurami. Itulah mengapa ikan-ikan mungil tersebut cepat sekali gosong bila dibakar.”
“Jadi maksudmu aku meminta sesuatu yang mustahil, begitu?! Pengawaaall…eksekusi!”
“Ampun, Paduka, aa..ammmpunn…!!!”
“Berikutnya!”

Wah wah wah.. Ada apa sebenarnya, mengapa kesalahan sekecil itu bisa menerbitkan murka Ratu? Tapi, memang tak pernah ada yang membakar ikan bilih sebelumnya. Ikan sekecil itu tak mungkin lezat dibakar. Aneh. Mengapa Ratu bertitah sesulit itu.

“Mana minuman yang kuinginkan itu?!”
“Beribu maaf, Gusti Ratu, waktu diberikan kepada hamba hanya dua hari. Sungguh mustahil bahtera hamba dapat bersandar di Hindia Jauh yang berhorison-horison jauhnya dalam waktu dua hari, meski selaju-lajunya. Dengan segala penyesalan hamba tak mampu menghadirkan serbuk coklat untuk minuman kegemaran Paduka itu. Hamba mohon pengertian Gusti.”
“Hemm.. . Eksekusi!!”
“Tapi..tapi..Ratu…tapi.. .”
“Berikutnya!”

Kabar tentang telah dieksekusinya dua orang petinggi menyebar dengan cepat bagai tarian gelombang saat pertandingan lempar bola tahunan. Bisik-bisik pun perlahan menjadi gumaman lebah yang berubah drastic menjadi aneka macam kata saat kabar itu sampai di kerumunan tepat di Pasar Kota. 

Tak ada yang menyangka, Ratu Adil mereka, yang meski belia namun terkenal bijak dan luhur pekerti, mampu berbuat seperti itu. Memberi titah yang mustahil, dan segera murka saat kemustahilan itu tak juga berwujud nyata. Mereka mulai menerka-nerka, apa gerangan yang terjadi. Ada yang berpikir Ratu sedang menguji-coba kesetiaan mereka. Ada pula yang beranggapan Ratu tengah berada dalam pengaruh Perdana Mentri yang ingin merebut tahta. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Ratu berbuat aneh karena guna-guna dan teluh Negeri Dewa yang memang sudah lama iri dengan kesuburan Negeri Naga. 

Tiap opini punya gerombolan pengikutnya masing-masing. Dan ironisnya, adu argumen itu semakin lama semakin berkembang menjadi adu lempar sayur, buah, dan berbagai macam barang dagangan di pasar itu. Astaga. 

“Mengapa seragam para pengawal hari ini terlihat lusuh dan tak bergaya?! Sudah malaskah para petugas penatu di belakang sana! Konspirasi apa ini?!”
“Mohon maaf, Ratu, tapi tak ada yang berubah dari seragam-seragam itu. Sama bersih dan bersinarnya seperti seragam mereka hari-hari sebelumnya. Bahkan seragam hari ini baru saja mereka dapat tadi malam sebagai ganti seragam lama yang sudah berusia satu bulan.”
“Oh, jadi lagi-lagi ada yang menganggap aku tak waras hari ini?! Begitu maksudmu, Kepala Rumah Tangga Istana?!!”
“Bu..bukan, Ratu yang jelita. Hamba hanya mengungkapkan semua apa adanya tanpa maksud merendahkan Paduka.”
“Eksekusi!”

Dan senyaplah seluruh negeri sehening-heningnya. Tak ada yang menyangka Ratu akan sekeji itu tanpa sebab yang jelas.

“Dan suruh semua penduduk negeri kembali ke rumahnya masing-masing. Tak ada yang boleh berada di luar rumah hari ini kecuali para pengawal!”

Maka dengan cepat seluruh penduduk negeri berebutan untuk secepat-cepatnya sampai di rumah masing-masing. Menutup dan mengunci semua pintu-jendela rapat-rapat, dan segera berkumpul di tengah rumah untuk berdoa bersama seluruh anggota keluarga. Petaka.

Sungguh sebuah tebaran kengerian yang mencekam selama berabad-abad negeri ini berdiri. Sudah menjadi tradisi, memang, jika pemimpin negeri dipilih dari keturunan perempuan alias putrid mahkota. Dan sudah menjadi kebiasaan pula bila sang ratu akan menerima tahtanya sebelum masa dewasanya bermula. Tak pernah ada masalah sebelumnya. Bergenarasi-generasi ratu menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Tapi..memang ada sedikit perbedaan. Sang ratu kali ini menjalani masa kecil dan menjelang pentahbisan keratuannya tanpa kedua orang tua. Mereka mengalami musibah saat perburuan tahunan.

“Huff..apa yang terjadi padaku beberapa hari ini. Mengapa aku cepat sekali marah dan mengalami perubahan suasana hati yang begitu cepat. Mengapa pula aku member mereka titah semustahil itu. Dan, mengapa pula sekujur tubuhku terasa pegal-pegal tanpa alasan. Apa sebenarnya yang terjadi.”

Lalu, tiba-tiba saja sang Ratu terdiam tercekat dari monolog curahan hatinya, dan bergegas melucuti pakaian kebesarannya. Ia terhenyak saat mendapati sebentuk noda merah dalam pakaian terdalamnya. Darah. Bingung dan takut. Apakah ia benar sedang diguna-guna? Mengapa tubuhnya mengeluarkan darah semacam ini?

Dan, itulah kali pertama ia merindukan orangtuanya, berharap Ibundanya masih ada agar ia bisa bertanya tanpa malu-malu tentang hal baru yang dialaminya kali ini. Ia lupa, bahwa usianya sudah mencukupi untuk menjadi seorang perempuan.



*dibuat saat PMS menyerang dan hasrat pingin “ngomel-ngome ga jelas" mulai tak tertahankan :p 

CARDAMON


Apa rasanya? Seperti teh susu yang salah takaran. Seperti teh herbal yang terlalu banyak cardamon. Nikmat, tapi kurang. Sangat.
***

“Kacamata baru, Lu?”
“Ga, cuma ganti lensa saja.”
“Sengaja pilih yang gelap begitu, ya? Jadi kelihatan aneh, kayak pakai sunglass di dalam ruangan.”
“Iya, sengaja. Lagi kepingin saja.”
“Tapi, keren kok, Lu. Semoga pelanggan ga salah kira kamu tukang pijit ya haha.. .”
“Hehe.. .”

Aku sudah lupa, kapan pertama kali mengenalnya. Sepertinya jauh sebelum kami akhirnya bekerja di tempat yang sama. Aku penyeduh, Al penyaji. Aku pembaca, Al perekam. Setiap hari ia sibuk melayani para pengunjung dan pelanggan tetap kafe ini. Dengan senyumnya yang anggun dan tarikan wajah khas negeri timur. Ia tak pernah terlihat terburu-buru. Tenang saja menyaji satu demi satu, hingga entah porsi ke berapa.Barangkali, banyaknya pengunjung yang datang bukan sekadar ingin menikmati aneka kopi dan teh yang menjadi sajian khas kafe ini, melainkan juga ingin curi-curi menikmati indahnya. Al. Sama sepertiku.

“Lu, ada pengunjung yang sedang muram dan lesu harinya. Ia ingin segelas teh yang bisa membuatnya lebih relaks dan sedikit bersemangat kembali.”
“Hemm, oke. Akan kubuatkan. Sebentar.”

Inilah salah satu hal yang kusuka dari bekerja di kafe ini. Tak perlu menghapal resep dan rutin tertentu. Setiap orang datang dengan suasana hati dan pikiran yang berbeda. Dengan impian dan angan yang berbeda. Dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Menjadi sempurna bukan ketika segelas minuman dibanderol tinggi, atau dilabel nama prestisius. Melainkan ketika setiap tetesnya punya makna tersendiri bagi yang meminum. Tidak sekadar melegakan haus, tapi juga menerbitkan kesadaran. Aku sendiri bukan sahabat kopi. Karenanya hanya bilik teh yang menjadi wilayah kekuasaanku.

“Al, ini teh yang kau pesan tadi.”
“Teh apa jadinya, Lu?”
“Basicly, ini spicy tea. Teh hitam Jawa yang diseduh ringan, dicampur sedikit sereh, lemon, dan madu kapuk randu. Kalau ia mau gula, kasih yang gula batu, ya.”
“You’re the best, Lu.”

Al? Ia coffeeholic. Setahuku, ia jarang menyesap teh. Pun ketika kami semua sedang menikmati jamuan bersama karyawan yang lain. Kopinya kuat, entah jenis apa. Campurannya dedaunan rempah kuno. Aku tak mengerti kopi. Terlalu berkesan gelap dan keras. Meninggalkan jejak yang seolah memang ingin nampak. Namun, sejak kemarin aku menjadi terobsesi dengan kopi. Tepat setelah Al mengungkapkan hadiah ulang tahun yang diinginkannya.
***

“Sebentar lagi aku ulang tahun, nih, Lu. Kasih kado dong.”
“Memangnya kamu mau kado apa, Al?”
“Racikan kopi yang bisa bikin El menerima cintaku. Buatin dong, Lu.. .”
“Aku kan ga ngerti tentang kopi, Al.”
“Ayolah, Lu.. .”
“Hemm, kucoba dulu, ya.”
“You’re the best, Lu!”

Dus. Segelas kopi. Untuk El. Seperti memaksaku menelan biji kopi mentah-mentah. Detik itu juga aku butuh secangkir teh. Kujerang setengah ketel air. Memilih teko porselen coklat tua bermotif huruf arya purba. Sesaat sebelum ketel berbunyi, kutuang sedikit air panas ke dalam teko, agar suhu teko siap menerima kejutan limpahan air berikutnya, dan membuangnya. Aku memilih early grey yang kental dan kuat. Cukup kuat untuk menampar dan menyadarkanku. Tanpa gula. Gula hanya candu yang mengelabuhi kenyataan.

Seteko tandas. Tak juga bisa kuhilangkan ia dari benak nyalangku. Kuseduh lagi segelas besar teh tubruk dari puncak Guci yang pahitnya terasa lebih menggigit. Kuteguk tanpa merasai. Seperti manipulasi diri yang coba kulakukan serapi mungkin berbulan-bulan ini. Membatu-bisu seolah pandangku padanya tak ada beda. Padahal nanar kerap kulayangkan tiap ia berkelebatan dari satu meja ke meja yang lain. Mengurai sendu seolah imajiku semu, padahal mimpi demi mimpi kerap merajai meski sekedipan. Aku tak lagi mampu bersirobok tatap. Bahkan lensa baru ini pun kupilih agar ia tak tahu bahwa aku tak pernah jenak di sekitarannya.
***

“Selamat ulang tahun, Al, semoga bahagia adalah hari-harimu.”
“Terima kasih, Lu, kadonya mana?”
“Tenang, itu sudah kusiapkan. Tinggal dibawa dan dituang saja untuk El.”
“Dijamin?”
“Dijamin.”
***

Diam-diam kutuang kopi ramuan itu ke gelas kopi pagi Al. Diam-diam kutuang kopi biasa saja ke termos kecil untuk El. Seperti Al yang diam-diam memimpikannya. Aku pun sama. Diam-diam bermimpikannya.

Namun, kami berbeda. Biarlah ia tetap menjadi bintang yang terlihat gemerlapnya saat malam, dan bukan saat matahari berjaya. Agar bisa selalu membuatku tersenyum syahdu setiap menatapnya di kegelapan. Maka, tentu saja tak kulakukan hal itu. Kopi ramuanku tetap kuberikan untuk dianya. Agar senyumnya kan selalu terbit. Agar bahagianya menjadi nyata. Dan biarlah aku tetap bermandi mantra cinta, diam-diam.


*untuk para "diamers", ada kalanya diam adalah yang terbaik, ada kalanya diam tak lagi mampu dibendung, ada kalanya berseimbang antara diam dan mengungkap adalah yang lebih elok. selamat diam-diam! :)

TEALOSOPHY


Jikalau setengah lebih penduduk Negeri Shire membuka pagi dengan roti hangat yang mengepul dan seteko air madu kayu randu, berkilometer dari pusat negeri ada sebuah desa kecil berkitar laut biru yang membuka pagi dengan satu pertanyaan, “Kapankah Selasa tiba?”

Pergilah ke sana saat Selasa menghampiri. Hari ketika langit entah mengapa berubah makin lazuardi. Hari ketika matahari bersolek secantik bunga bernama sama, emas menawan. Malam sebelumnya, para muda desa memenuhi buku harian yang mereka sembunyikan di bawah tumpukan bantal dengan bait-bait syair atau ungkapan isi hati tentang apa yang akan mereka cari jawabannya pada hari Selasa. Itulah hari ketika kedai teh berkanopi merah di terasnya memasang kembali papan bertulis:

“Tealosopher, Buka Setiap Selasa Sore. Secangkir Teh, Penyingkap Tanda Tanya”

Ah, semacam perunut garis tangankah ini? Atau pemutar bola kristal bertudung gipsi? Bukan, bukan, hanya seorang peracik teh, dengan keahlian tak biasa yang menyulap Selasa milik desa terpencil itu menjadi selalu didamba lebih dari purnama.

Kedai teh itu tanpa nama. Sudah ada entah sejak kapan. “Sudah ada ketika desa ini ada,” begitu menurut pak tua berkemeja tartan rapi pemilik toko roti. “Begitu saja muncul selepas badai hebat berpuluh tahun lalu,” begitu anggapan seorang nenek pemilik toko bunga yang selalu beraroma lavender. Kanopi merahnya mudah dikenali di antara jajaran kedai dan toko kecil di pusat keriuhan desa.

Suatu hari, seorang gadis bersepatu ungu entah dari mana datang ke desa itu. Pengelana tampaknya. Kedai berkanopi merah adalah tempat pertama yang disapanya. Konon, sang pemilik kedai yang selama ini dikenal tak pernah mau mempekerjakan asisten, begitu saja menerima sang gadis yang bertanya pekerjaan. Dua pekan setelahnya, pada suatu Selasa pagi, muncullah papan pengumuman itu, yang menimbulkan kernyit tanda tanya dan cibir sangsi penduduk desa yang membacanya. Kabar tersiar lebih cepat dari bintang jatuh. Sore pertama sang tealosopher muncul, antrean di depan kedai mengular hampir sampai dermaga.

Sudah hampir dua musim, dengan hari Selasa yang menjadi semeriah hari raya. Pendatang dari desa tetangga tak jarang datang dan mencoba peruntungan. Sejak pagi, ceria menjadi latar suasana utama desa itu. Rama-rama beragam warna berterbangan dan hinggap di sana-sini, yang hanya terjadi pada hari Selasa. Semua kedai dan toko memajang pot-pot bunga berjenis wangi sepanjang hari. Udara yang berpadu dengan harum bunga, terasa segar beromansa. Membuai sesiapa saja yang menghirupnya untuk menarik sudut bibir dan tersenyum, terbayang impian dan cinta yang memenuhi rongga dada.

Apa yang sebenarnya dilakukan orang berjuluk “tealosopher” itu? Siapa dia? Tak lain adalah si gadis bersepatu ungu itu. Sihir kecil yang dilakukannya sederhana saja pada mulanya.

Dua musim lalu, pada suatu Selasa, kedai teh berkanopi merah tampak seperti biasa, disinggahi pengunjung setia dan beberapa pelancong yang berharap pelepas dahaga. Sang gadis yang mulai dipercaya menjadi peracik, menggantikan pemilik kedai yang sibuk menulis laporan keuangan dan mengecek stok, berdiri di belakang meja layan sembari berpikir kombinasi apa lagi yang bisa disajikan kepada para pecinta teh di desa itu. Sejak sang gadis datang ke desa, kedai ini memang dikenal dengan racikan tehnya yang bercampur rempah, bunga, dan buah kering. Setiap pengunjung boleh memilih campuran mana yang disuka, atau menyerahkan sepenuhnya pada rekomendasi si peracik.

Di tengah pilihan antara mencampur teh oolong dengan kapulaga atau adas manis, seorang perempuan muda datang menghampiri si gadis peracik. Duduk di kursi kayu tinggi di hadapannya. Menghujaminya dengan tatapan setengah memohon setengah menuntut, yang membuat si gadis nyaris menebarkan ke atas meja sesendok daun teh kering yang sebelumnya ia pegang.

“Engkau penyihir? Pasti. Berikan mantramu. Keluarkan tongkat saktimu. Mana itu bola kristal yang biasa dibawa-bawa kaummu?” cecar perempuan bertunik merah tua itu tiba-tiba.

“Penyihir? Anda mungkin salah tempat. Pasar malam ada di ujung desa. Tenda-tenda berlukis bintang dan para pembaca kartu ada di sana. Di sini hanya ada toples-toples teh dan rempah kering. Anda mau secangkir, barangkali?” jawab si gadis peracik dengan nada suara yang datar tak beriak.

“Apakah itu teh penuh sihir?” tuntut si tunik merah tua, tetap dengan anggapan awalnya.

“Mungkin. Apa teh kesukaan Anda?” tanya si peracik sambil menatap perempuan itu tepat di kedua matanya.

“Eh, teh kesukaanku? Oh, apakah aku punya teh kesukaan? Sebentar, aku biasa minum teh hitam kental berampas dengan sedikit gula kristal. Tapi, aku tak suka teh jenis itu sesungguhnya. Aku suka harum teh melati yang bisa diseduh nyonya bergaun renda yang tinggal di sebelah rumahku. Tapi, di rumah tak pernah ada yang menjerang teh segar semacam itu, yang ada hanya seduhan teh kemarin, atau kemarinnya lagi,” ujar si tunik merah tua panjang lebar, dengan sorot mata yang menyimpan seberkas nestapa.”

“Tunggu di sini,” ucap si peracik, sembari menghilang ke dalam bilik stok di belakang meja layan.

“Aku perlu mantra, bukan seduhan minuman daun kering,” gerutu si tunik merah tua lirih.

Udara di sekitar meja layan tiba-tiba dipenuhi wangi jeruk yang baru dikupas, bercampur pahit tipis khas daun teh yang diseduh dengan air tiga perempat mendidih. Ehm, bukan itu saja, ada lagi aroma tambahan, aroma bunga melati yang harum elegan. Ah, tampaknya ini wangi hasil karya sang peracik.

Aroma magi itu sungguh tak terbendung, menguar ke penjuru kedai, membuat semua pengunjung tanpa sengaja melemparkan pandang sesaat ke arah meja layan. Membuat si tunik merah tua tiba-tiba terdiam dari gerutu. Jemarinya yang kurus panjang bergetar.

Sang peracik pun keluar dari bilik penyimpanan. Dengan nampan kecil berisi cangkir porselen berwarna pelangi, yang mengepulkan uap panas yang seolah ikut berwarna-warni. Ia meletakkan cangkir itu di hadapan si tunik merah tua. Membiarkan uap panas itu menyapa lembut kedua pipi yang juga kurus pucat. Ia seperti memerintahkan serdadu racikannya untuk memberi atraksi pembuka jamuan minum.

“Ini untukku? Teh wangi ini?” tanya perempuan itu tergagap.

“Benar. Silakan. Hirup terlebih dahulu. Sesap perlahan kemudian. Jangan lupa, rapalkan dalam hati satu permintaan saat paduan aromanya Anda hirup dalam-dalam. Rapalkan harapan kedua saat sesapan pertama menyentuh lidah dan mengalir memasuki rongga tubuh. Rapalkan mimpi ketiga saat tegukan pertama itu mengalir bersama darah, menyebar menghangatkan diri. Silakan,” jawab si peracik, dengan penjelasan aneh yang belum pernah didengar si gadis bertunik sebelumnya, terlihat dari raut tak mengerti yang sekejap memenuhi wajah syahdunya.

“Oh, oke,” jawab si tunik merah tua pasrah.

Dilakukannya tepat seperti urutan yang dijelaskan si peracik. Dihirupnya kombinasi tiga unsur yang bersenyawa menjadi wangi yang dalam tak terperi.

“Ini, teh melati. Seperti teh milik nyonya bergaun renda. Tapi, lebih wangi, tak tertahankan. Kau mencampurkan kulit jeruk, bukan? Kulit jeruk oranye cerah seperti yang dijajarkan di kios nona bersenyum manis di alun-alun desa, yang segarnya membuatku betah berlama-lama berdiri di dekat kiosnya. Membuatku berharap suatu saat nanti bisa pergi dari desa ini untuk menjadi petani jeruk dengan hamparan oranye berhektar jumlahnya. Tunggu, teh apa ini?” cecar si perempuan, yang entah mengapa terlihat sedikit lebih bernyawa dibandingkan sebelumnya.

Si peracik diam saja. Tetap menatap perempuan di hadapannya lekat-lekat.

“Oke, kau tak mau membagi rahasia. Biar aku sesap sekarang,” ujar perempuan itu lagi sambil mendekatkan cangkir itu ke bibir tipisnya. Disesapnya perlahan. Dibiarkannya seteguk racikan gadis asing itu meluncur memenuhinya. Berjalinan dengan darah dan udara. Menyapa setiap organ penyusun keberadaannya.
Hening meliputi keduanya. Satu sesapan dan perempuan itu meletakkan kembali cangkir tehnya. Ia terdiam. Beberapa detik kemudian, ia terisak lirih. Jari-jari kurusnya bergetaran di atas meja layan. Seperti memainkan piano maya dengan gubahan seorang prodigy.

Si peracik tersenyum. Tatapannya melembut.

Tunggu, wajah perempuan bertunik merah tua itu bersemburat merah! Ia terlihat lebih hidup. Seulas senyum tipis menghiasi rautnya yang ternyata…memesona. Nyaris aristokrat.

“Ini teh hitam yang sudah diseduh lama, bukan? Seperti yang biasa kuminum di rumah. Aku tak tahu kalau teh kemarin pun bisa semagis ini rasanya jika berpadu dengan unsur lain. Ah, aku tahu. Sudah saatnya aku berubah, bukan? Tak lagi meratapi diri karena terlahir dari keluarga semacam itu, tanpa mau berusaha mencari jalan lain. Aku bisa menjadi pemilik berhektar kebun jeruk itu, bukan?” ucap sang perempuan nyaris dengan gelak kecil yang mengubah sosok sendunya yang setengah jam lalu hadir di hadapan si peracik.

Si peracik tetap diam tak bersuara. Hanya senyum lega dan sorot mata yang sekejap tadi terlihat seperti dipenuhi damba, yang tiba-tiba berubah lagi menjadi sorot bahagia yang samar.

“Terima kasih. Aku tahu harus melakukan apa setelah ini. Aku tak perlu mantra-mantra dan segala sihir itu. Sampai jumpa lagi,” ujar si perempuan sembari sekilas menumpangkan kedua telapak tangannya di atas punggung tangan si peracik, lalu turun dari kursi tinggi itu dan berlalu keluar kedai.

Perempuan itu tak sempat merasakan, gemetar tangan si peracik dan sorot mata yang terkejut serta dipenuhi…cinta? Perempuan bertunik merah tua itu mungkin tak akan pernah tahu jika si peracik sebenarnya adalah putri yang bertahun lalu meninggalkannya dengan janji dua remaja mula yang digelung cinta bertanda tanya.

Aku mau mantra! Aku mau sihir! Aku mau bahagia! Sayangkah kau padaku? Bisakah kau cari sihir itu?
Pasti bisa! Akan kucari keluar desa. Tunggu aku, ya. Mengembara ke negeri terujung pun akan kujalani. Jangan ke mana-mana. Akan kubawa sihir itu!


Perempuan bertunik merah tua itu tak pernah kembali lagi ke kedai. Menurut beberapa warga, pada suatu malam ia terlihat berjalan kaki keluar desa, dan tak pernah terdengar lagi kabarnya. Ada desas-desus yang mengatakan kalau perempuan itu sekarang menjadi pemilik berhektar kebun jeruk manis yang dikirim ke seluruh penjuru negeri.

Sejak saat itu, si peracik meminta izin pada sang pemilik kedai, untuk menjadikan hari Selasa sebagai hari konsultasi gratis bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan baru lewat jalan racikan teh. Ia berharap, suatu hari nanti perempuan bertunik marun itu akan muncul lagi di hadapannya. Pada hari itu, ia akan menyeduh racikan yang berbeda. Racikan yang mampu membuat perempuan itu mengingatinya. Mengerti rasanya. 
***

Rumah di Persimpangan



“Seribu jalan memutar itu dibuat dengan satu tujuan, menghindari kenyataan.” ~Anonim


“Halo, kamu lewat mana, sih, kok lama banget nggak balik-balik?”
“Iya, Kak, bentar lagi sampai, kok.”
“Memang tadi lewat mana?”
“Udah, ya, Kak, jalan lagi ramai.”
“Oke, hati-hati.”

Kalau dihitung-hitung, ini sudah kelima kalinya Ara menampakkan kebiasaan barunya. Biasanya, setiap kali aku menyuruhnya pergi berbelanja kebutuhan tak terduga untuk kafe kecil kami, tak lebih dari setengah jam kemudian Ara sudah menyorongkan tas belanja daur ulang berwarna biru itu, penuh dengan barang-barang pesananku. Itu dulu, lima hari belakangan ini entah mengapa jam tangan kami sepertinya tidak sinkron lagi, Ripcurl miliknya setengah jam lebih lama dibanding Elle merahku.

Pada mulanya, aku tidak terlalu memperhatikan perbedaan itu. Tapi, hari ini ketika barang yang kuminta untuk dibeli itu benar-benar mendesak untuk segera sampai di hadapanku, aku baru menyadari jika waktu belanja Ara menjadi setengah jam lebih lama dari biasanya. Apakah hal ini sebegitu penting untuk dicari tahu alasannya? Untuk sementara, kuanggap tidak.
***

Sore ini suasana kafe kecil kami cukup padat, hampir semua meja sudah terisi. Meskipun tidak terletak di jalan utama,kafe kami sudah cukup dikenal oleh kaum muda kota ini. Racikan teh dan kopi menjadi menu utama yang membuat jumlah pelanggan setia kami semakin bertambah. Selain aneka kue buatan sendiri dan makanan berat sederhana lainnya. Aku sengaja meletakkan van-kithcen, yang menjadi ikon utama kafe kami, tepat di pelataran depan. Aroma sosis kedelai buatan sendiri yang digoreng di atas lembaran plat besi panas mirip teppan, menguar harum bersama bawang bombai tumis yang berwarna cokelat karamel.

Pembeli boleh memilih sendiri, apakah sosis panas itu akan dimakan bersama roti gandum segar yang dipanaskan sekilas di atas teppan, atau dimakan bersama kombinasi telur ceplok setengah matang, nasi merah, wortel rebus, dan taburan lobak kering. Margarin yang terpapar panasnya wajan, membuat aroma setiap bahan yang ditumis merajalela hingga ke jalan besar dekat kafe. Konon, menurut pelanggan baru, wangi masakan dari van itulah yang membuat mereka ngotot mampir dan mencicipi.

Entah mengapa, ekspresi bahagia sekaligus terkesiap dari pelanggan yang memegangi bungkusan kertas berisi roti dan sosis panas, atau tampang lega seorang pelanggan setelah meneguk banyak-banyak segelas es teh mint segar racikan Ara.

Pesanan baru belum lagi datang, ekor mataku menelusur perlahan, mencari sosok adik perempuanku itu yang tiba-tiba saja lenyap dari van. Ah, rupanya ia sedang duduk sendiri di bangku taman yang ada di kebun bunga kecil di samping kafe. Aku semakin merasa keanehan Ara akhir-akhir ini. Raut wajahnya seperti langit yang berusaha mempertahankan berkas sinar mentari, meski mendung sisa hujan tetap tak mau pergi. Ia berusaha tetap teduh ceria, tapi nuansa sendu tetap bisa terbaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Masalah temankah? Atau Kekasih? Setahuku, Ara belum punya seseorang yang dipanggilnya kekasih.

Sejak orangtua kami meninggal beberapa tahun silam, kami berdua akhirnya membuka kafe ini sebagai ladang nafkah utama. Berbekal resep-resep keluarga warisan nenek dan bunda, yang untungnya dulu ditulis bunda dengan rajin dalam buku catatan tebalnya, dengan nekat tanpa pengalaman kami menjalankan kafe ini. Imajinasi kami berdualah yang membuat resep-resep tua itu menjadi bernuansa retro.

“VINARA”, nama kafe kami. Akronim dari dua kata panggilanku dan Ara. Awalnya, banyak yang sangsi, apa bisa sepasang kakak-adik yang dua-duanya sama-sama perempuan bisa bangkit dan menghidupi dirinya dari kafe semacam ini? Nyatanya? Kami bisa menyelesaikan kuliah dan menghidupi diri dari kafe.

Celaka! Aku hampir lupa kalau persediaan susu segar sudah menipis, padahal ini Sabtu sore, yang berarti kafe akan semakin padat hingga jam tutup nanti. Seperti biasa, ini tugas Ara.

“Ra, Ara. Ara!”
Olala, apa sebenarnya yang anak ini lamunkan, sampai-sampai aku harus menaikkan nada satu oktaf begini.
“Iya, iya, kak. Kenapa?”
“Ck...ck...ck, ngelamuunn...terus. Ada apa, sih?”
“Ah, nggak ada apa-apa, kok. Ada yang habis?”
“Susu segar, kamu beli, yah, untuk stok hari ini saja, 10 botol.”
“Oke.”
***

Hemm, ke mana Ara? Ini bukan lagi telat namanya. Sudah lebih dari tiga jam pergi. Jarak toko susu segar langganan kami bisa dijangkau dalam waktu 30 menit. Oke, satu jam jika melihat kebiasaan Ara akhir-akhir ini. Tapi, ini sudah lebih dari tiga jam! Aku tidak bisa meneleponnya karena ia tadi membiarkan HP-nya tergeletak begitu saja di meja dalam van. Untung saja Dira, tetangga sebelah rumah kami, bisa aku “berdayakan” dadakan untuk membantu melayani pengunjung kafe.

Menjelang maghrib, Ara belum datang juga. Kuputuskan untuk mencarinya. Mumpung kafe belum lagi masuk ke masa padat terakhirnya. Aku bisa pergi dengan cepat dan memasrahkan kafe pada Dira. Ia sudah sering ikut bekerja bersamaku.

“Dir, aku nyusul Ara dulu, ya. Titip kafe sebentar. Paling lepas jam tujuh baru ramai lagi.”
“Oke, Kak Vin. Beres.”

Segera kustarter Vixion hitam-merahku, tanpa repot-repot mengenakan helm. Rumah tukang susu itu masih di seputaran tempat tinggalku, tidak perlu keluar ke jalan besar. Sekilas kulihat helm merah Ara masih teronggok di rak dekat dalam garasi. Pertanda tadi ia tidak berniat untuk sekalian mampir ke tempat lain.

Kususuri jalan yang biasa kami lalui setiap pergi membeli susu. Sengaja kupacu motorku  perlahan, kalau-kalau Ara mengalami musibah di tengah jalan. Lampu-lampu jalan sudah sepenuhnya menyala, seperti menancapkan dominasinya atas malam, menyingkirkan sisa senja di langit yang mulai sepenuhnya kelam. Sayup suara adzan terlambat masih menggema di sana-sini. Di mana Ara?

Setengah perjalanan sudah kulewati, yang ditandai dengan persimpangan jalan di tengah perkampungan warga. Agar sampai ke toko penjual susu, aku harus mengambil belokan ke kanan. Tanpa berpikir apa-pa, kulewati persimpangan itu. Setelah hampir melewatinya penuh-penuh, aku tercekat. Sekilas sepertinya aku melihat motor matic putih milik Ara tak jauh dari persimpangan tadi. Kuputar motorku untuk memastikan.

Dan, di situlah Ara. Duduk memeluk lutut di samping motor kesayangannya. Ara… apa? Apa yang luput dari pandanganku selama ini? Tiba-tiba aku merasa menjadi kakak yang tidak bisa dibanggakan.

Kudekati ia perlahan. Aku tak mau mengagetkannya, meski bisa jadi ia sudah mendengar suara motorku berhenti tadi. Aku duduk saja di sampingnya. Gemetar oleh debar yang tertahan.

“Mengapa ada rindu yang tak boleh tersampaikan, Kak?”
Sejenak aku tak tahu harus menjawab apa.
“Karena ada bilik dalam hati yang tak semuanya punya nama, Ra.”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meyakini sebuah rasa, Kak?”
“Tidak ada yang pernah menghitungnya, Ra. Niten sang Musashi butuh kehidupan abadi untuk tahu bahwa Aofie-lah tempatnya ingin pulang. Romeo dan Juliet tidak butuh sampai seperempat episode untuk tahu apa yang mereka rasa. Okumichi no Kami Genji bahkan butuh samsara antara dirinya dan Shizuka. Mungkin sekejaban, mungkin setahunan, mungkin sedekade.”
“Ayo pulang, Kak.”
“Yuk.”
***

Tidak ada yang tahu, setengah jam lebih lama waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke toko tukang susu itu bukan karena aku malas, atau lupa jalan, alih-alih mangkir mampir ke tempat teman. Aku, hanya tidak bisa. Tidak sanggup. Melewati tempat itu. Persimpangan itu.

Persimpangan itu sudah berkali-kali kulewati, rumah hijau tosca tepat di dekatnya pun entah sudah berapa kali kulalui. Rumah yang cantik dan asri. Dengan warna-warni dari tetumbuhan dan bebungaan di halamannya. Dengan kibar kerai motif bunga pink-ungu-merah di jendela depannya. Rumah yang anggun, seolah memancarkan sinar dan senyum yang mampu meluruhkan gunung es Antartika.

Kekagumanku semakin menjadi beberapa minggu lalu. Membuatku tak pernah lupa lekat-lekat menatapnya. Membuat sesi perjalanan melintasi ke toko langganan menjadi lebih menyenangkan. Ada sesuatu yang terasa... setengah magis setengah gravitasis dari rumah itu. Tarikan sihir yang muncul pertama kali saat gadis bertunik ungu itu menyiangi rumput liar di sela bebunga yang tumbuh peuh warna. Gadis yang sorot teduhnya sempat kutangkap dan kumasukkan ke dalam toples memori di bilik dalam kepala. Dengan tanda tanya besar tercetak di tutupnya.
***

Sejak menemukan Ara yang terpuruk di persimpangan itu, aku belum lagi menanyainya. Aku tahu ia butuh waktu sampai bisa mencerna semua yang dirasainya, yang merajainya. Untuk sementara, tugas berbelanja kuserahkan pada Dira, yang sudah resmi kutarik jadi karyawan baru Vinara.

Ada rahasia kecil yang kusimpan, sebenarnya. Tepatnya kejutan kecil, yang menurutku akan semakin membuat hidup kami mapan dan berkecukupan kelak.
***

Tiba-tiba kudapati papan bertuliskan “Sold Out” di depan rumah itu. Aku tak ingat lagi apa yang kurasa ketika membaca tulisan itu. Seperti Paranelle Flamel yang memaksa diri membagi auranya untuk sang Alchemist, pijar kelabu mulai menyelubungi tubuhnya, mengganti aura biru miliknya. 

Keesokan harinya, sudah tidak ada lagi petak bunga belasan warna itu, tidak ada lagi sosok utuh rumah itu. Puing-puingnya sudah sepenuhnya lenyap, menyisakan serpih-serpih puing tembok rumah yang masih terlihat bekas cat hijau toscanya. Tidak ada lagi sang gadis yang selalu memilih ungu sebagai warna utama setiap pakaian yang dikenakannya.

Sejak itu, selalu kucari jalan memutar setiap kali Kak Vin memintaku berbelanja. Aku tak sanggup melewati persimpangan itu lagi. Entah sampai kapan. Mungkin seminggu, sebulan, setahun, atau tak berbilang masa.

Aku perlu ritual, seperti saat melarung nama-nama dalam botol kaca di Laut Andaman beberapa tahun silam. Kutuliskan mantra di secarik kertas tipis berwarna hijau. Agar rindu mengarung bersama ombak yang berkelana ke lima samudra, tanpa perlu berlabuh kembali di dermaga bertuliskan namaku, tanpa perlu lagi berpulang ke pulau bertajukkan rasaku.

Melepasnya, seperti dandelion putih yang berkibaran bersama angin, setelah dilepas pohon induknya yang tak hendak mengharapnya kembali, hanya mengharapnya kelak menjadi sosok yang lebih kuat dari pohon asalnya.
***

“Ra, sini, deh, ada yang mau kuobrolin.”

Senin sore, kafe tutup, seperti bersenin-senin sebelumnya. Saatnya menikmati hobi dan kegemaran kami masing-masing. Sementara aku sibuk me-make over motorku, Ara tampak sibuk dengan McBook Air krumnya. Kuperhatikan, sudah tiga gelas teh tarik dingin ia tandaskan.


“Kenapa, Kak?”
“Hemm, sebenarnya udah agak lama mau kasih tau hal ini, cuma kayaknya pingin kasih kamu little surprise aja.”
“Tentang?”
“Kamu ingat, kan, kita pernah bahas ingin mencari tempat yang lebih luas dari sekadar ruang depan rumah kita plus pelataran depan ini untuk mengembangkan kafe? Tapi, tempat baru itu harus tidak jauh dari sini, agar tidak membingungkan pelanggan. Nah, bulan lalu aku ketemu orang dekat sini yang mau jual rumahnya, sangat murah, pemiliknya cuma kepingin pindah cepat dari sini.”
“Oke, then?”
“Maaf karena aku nggak cerita, pengin jadi kejutan saja. Lagian harganya murah banget, tanahnya luas. Satu-satunya masalah hanyalah rumah itu harus dirobohkan dulu agar kita bisa membangun sesuai dengan imajinasi kita. Intinya, kita sekarang punya tempat baru yang lebih luas! Kita bisa rancang sesuai apa yang kita mau.”
“Wah, kalau kulihat dari antusiasme Kakak, sepertinya tempatnya oke dan sesuai standar kita. Aku nggak masalah, Kak, toh aku jua ga terlalu tahu tentang jual-beli tanah dan semacamnya. Lokasinya di mana?”
“Dekat sini, kok, kamu malah sering melewatinya menurutku. Mau lihat sekarang?”
“Boleh, yuk.”

Berhubung Vixion milikku belum beres benar, kami berboncengan dengan motor Ara. Aku tak sabar ingin menunjukkan lokasi kafe baru kami. Aku yakin Ara akan suka sepenuhnya.

“Nah, ini dia, Ra. Luas, kan? Lokasinya strategis, kita bisa buat space parkir yang lumayan juga. Itu, di bagian yang masih teronggok sisa puing itu, akan kuletakkan van kita. Gimana? Kamu suka? Ra? Kamu kenapa? Ara! Kamu mau ke mana? Ara!”
***

Aku selalu cinta dunia memasak. Menikmati setiap masakan dan minuman yang kuracik di dapur beroda kafe kami. Merasa bahagia melihat senyum puas pelanggan yang mengembang cerah setelah menandaskan semua hidangan kreasi kami. Tidak pernah terlintas jika kelak aku akan berubah seperti ini. Tidak lagi sanggup memasak. 

Rumah persimpangan itu. Mengapa harus rumah itu yang Vin beli? Mengapa harus tempat itu yang ia pilih? 
Tapi, bagaimana mungkin aku bisa merasa kehilangan seseorang yang sedari awal tak pernah menjadi milikku? 
***