Pages

Senin, 30 September 2013

Mystically Miss



Rindu yang mistis, menghangatkan tidak hanya hati, tetapi juga ujung-ujung jemari. Rindu yang mengepul dari rajah yang kau toreh di lengan kiriku. Rindu yang aromanya memenuhi rumah hingga ke balik tirai oranye dan serat sofa. Rindu yang berwarna terakota. Cokelat tua kemerahan. Serupa kedua bola matamu.

Kamis, 26 September 2013

(Love) The Process, (Process) The Love



Jatuh cinta pada pelajaran kimia? Uff, uff, never, not once in a million time! But, yeah, akhirnya saya menyadari kalau sesuatu yang kimiatik memang kerap terjadi di sekitar saya. Pagi ini, ketika terbangun dengan tubuh yang hanya seperempat tertutup bed cover marun, kepala sudah bising dengan bunyi letupan unsur yang sedang blub blub dalam tabung-tabung reaksi. Apa yang sedang dimasak di dapur otak saya? Entah, bahkan saya pun tak diberi peluang mengintipnya. Sel abu-abu yang sedang mencampur dan mengolahnya.

Cuping hidung saya tetiba menghirup rembesan aromanya. Manis stroberi, bercampur pahit cokelat hitam, dan sedikit asin mentega leleh. Berpadu dengan bubuk cabai yang membara, dan bebunga hutan yang wangi segar. Dan, ah, aroma embun padang rumput kala pagi ikut menyapa. 

Proses. Segala aroma yang ada di dalamnya mungkin akan terasa janggal jika dihirup satu per satu. Namun, saya yakin akan terasa menyegarkan dada jika semua berpadu menjadi satu aroma. Aroma keyakinan, cinta, dan optimisme. Bahwa setiap bagian proses sejatinya adalah keharusan yang dijalani, agar mimpi tercapai. Mimpi bersama.

Membayangkan ada bergulung-gulung aroma yang sedang bereaksi dalam kepala, membuat saya tersenyum dan mengendusi aroma yang ada di dekat saya. Hemm, wanginya menyamankan jiwa. 

Membuat saya ingin terus menghirupnya. Dalam segala musim dan suasana. Ah, mari bergelung dan tidur kembali.

Senin, 16 September 2013

I Dance You Not?



Saya menari. Ya, dulu. Lampau sekali. Ketika jiwa muda (halah) masih keranjingan memadukan antara gerak dan lagu (gerak dan lagu? so 90's...). Apa rasanya? Lebih magis ketimbang tumpukan novel detektif yang gemar saya lahap sejak kecil. Rasanya seperti waktu seolah diciptakan untuk saya sendiri.

Saya lupa, kapan tepatnya mulai keranjingan menari. Saya cuma ingat momen ketika masih berseragam ala pelaut (seragam khas taman kanak-kanak tempat saya belajar mengeja, tak jauh dari Pelabuhan Lembar di Lombok) dan beberapa teman sekolah mulai mengundang saya untuk menari di acara ulang tahunnya. Saya tak lagi ingat siapa yang mengajari, saya cuma punya selembar barang bukti berupa foto saya dan kakak perempuan saya yang tampak menari gaya modern (modern ala tahun 1980-an lho ya), dengan kostum warna-warni yang seragam. Saya menari tanpa ekspresi dalam foto itu. Mungkin ekspresinya hanya terlihat dalam dunia dalam kepala saya sendiri ketika itu.

Saat seragam saya sudah berganti putih-merah, saya makin merajalela. Menjadi "dancing princess" di sekolah saya. Bersaing dengan kakak-kakak kelas yang menurut saya (ketika itu) tak cukup percaya diri menguasai panggung seni tahunan. Anehnya, saya pun tak ingat apakah saya pernah punya mentor ketika itu. Saya cuma ingat mengajak Ruri (sekilas cerita tentang Ruri bisa dibaca di Harta Karun Mandalika) untuk menggarap koreo untuk pentas perpisahan kelas enam. Saya memilih lagu Sakura yang saat itu sedang populer. 

Kegemaran menari sempat padam ketika saya harus berpindah kota ke Denpasar. Tak punya kesempatan, tak punya panggung. Paling-paling cuma gerakan "tari" senam SKJ yang saya lakukan. Kepindahan ke kota selanjutnya sedikit mencerahkan. Saya menari lagi. Kali ini lebih rumit, saya belajar menari Jawa, lengkap dengan kostum kebaya dan sanggul mini. Sayangnya, cuma sekali, sudah itu luluslah saya, berpindah sekolah lagi. 

Kapan terakhir saya menari? Hemm, seingat saya kelas 3 SLTP. Koreonya saya bikin sendiri bareng beberapa teman. Sebenarnya dalam rangka tugas akhir kelulusan pelajaran kesenian dan keterampilan. Kami harus menggarap sendiri proyek koreo tari kami. Modern dan tradisional, kami racik dala riang. Hasilnya? Kami menjadi yang terbaik. Berhak tampil dalam pentas perpisahan tahunan. 

Dan, itu semua terjadi bertahun lampau. Setelah itu bisa dibilang saya pensiun dari tari-menari. Maka, ketika ada yang bertanya masih bisakah saya menari? Saya gemetar hingga ke ujung kuku. Serius. Rasanya kepengin menekuk kepala dan berlalu dari si penanya. Saya seperti petualang padang prairi yang mencari-cari busur dan panah berburu yang dahulu kala pernah saya kuasai. Saya meraba-raba dalam diri saya, masihkan kedua tangan, kedua kaki, seluruh tubuh saya bisa diajak untuk berpadu manis dengan daftar lagu? 

Yeah, saya memang belum mencoba. Bagaimana bisa jika belum apa-apa sekujur tubuh saya sudah berkeringat dingin super grogi. Masih cukup baikkah (paling tidak lumayanlah) saya ketika ber shake-shake-shake? Atau malah sudah berkategori "memalukan" dalam tarian model apa pun? Memang, saya masih sering memerhatikan style koreo sekarang-sekarang ini. Style yang jauh lebih up beat dan dinamis dibandingkan zaman saya kecil dulu. Saya menyukai beberapa style yang ada. Tanpa pernah mencoba.

Ugh, tidak, tidak, saya tidak pernah trauma sebelumnya, tidak pernah cedera saat berlatih menari, atau mengalami kejadian memalukan saat pentas. Lancar jaya. Jadi karena apa sebenarnya ini?

Hal yang jelas, saya sudah terlanjur berjanji, kepada si penanya, bahwa saya akan menari, lagi, suatu hari, di depannya. Ya, di depannya. Janji yang hingga kini masih berwujud ekspresi beku di wajah saya setiap kali si penanya kembali mengulangi pertanyaannya. Entah dia tahu atau tidak, tak pernah ada lagi yang meminta saya menari kecuali dia.

Baiklah, saya akan melemaskan sendi-sendi. Kembali mencoba. Aduh, bahkan menuliskannya pun membuat jemari saya mendingin dengan cepat. Ouch. Will see lah, will see. 


Senin, 09 September 2013

Hymne ataukah Ode?



Saya sedang merayakan, merayakan sejarah yang dahulu dicatatkan bersama di langit-langit maya, tetapi kini terempas dan terpecah berkongsi-kongsi.

Pada suatu titik, manusia adalah kanibalis yang sangat omnivoris. Tak cukup segala uba rampai yang bisa ia santap lahap-lahap, rasa lapar dalam diri purba manusia membuatnya tak segan menyantap sesuatu yang membuatnya disebut makhluk: ingatan. Sejarah.

Entah hymne entah ode yang akan saya pilih untuk didendangkan. Ode untuk serabut-serabut ingatan milik saya dan orang yang pernah berbagi senyum bersama saya, yang sekejap mata diremas hingga meremah begitu saja. Padahal saya masih menyimpannya rapi, masih mengingatinya dengan takzim. Sebagai bagian dari pembentuk sel-sel kelabu baru selepas kepergian saya. Saya tak mengubahnya, pun tak mengkapitalisasinya. 

Lantas hymne untuk apa? Untuk menemani sedih yang membayangi pelupuk mata. Sedih karena ingatan ini ternyata tak lagi sama, sudah berubah menjadi dua cerita. Ia lupa, cerita hanya bernyawa satu, ketika dicerabut dan dibelah dua, ia akan kehilangan ruh dan membatu. Tak ada lagi cerita, tak ada lagi ingatan, tak ada lagi sejarah.

Hanya ego yang membatu.

Maka, biarkan saya bersenandung lirih. Melantun ode bernada hymne. Melarung pundi-pundi ingatan saya ke samudra. Memulangkannya kepada Neptunus, yang dahulu pernah mengirimkannya kepada saya. 

Tak ada lagi ingatan tentangmu, perempuan. 




Rabu, 04 September 2013

(De)Mentor


Pada suatu ketika, saya pernah terdiam dan memaku fokus kepada salah satu makhluk mitos dalam serial Harry Potter. Dementor. Selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa Dementor adalah makhluk pengisap kebahagiaan seseorang, meninggalkan sang korban dalam keadaan layu dan meratap. Bahagia dan mimpi-mimpi adalah hidangan lezat yang selalu diburu gerombolan hitam yang gentayangan ini.

Saya tergoda untuk berpikir di luar konteks. Apakah Dementor itu memanglah sesosok makhluk mitos, ataukah makhluk mitos itu tampil dalam sejarah manusia sebagai visualisasi ketakutan terdalamnya? Kecenderungan manusia adalah mengais-ngais remah-remah perihal di sekitarnya, setiap kali ia menghadapi problematika. Baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Mungkin itu spontanitas lahiriah. Apalagi jikalau ia merasa bahwa sejatinya permasalahan berakar dari kedalaman jiwanya sendiri.

Inilah yang biasa kita namakan: pelarian.

Ketika tak kuasa lapang memahami bahwa kitalah sang pemicu persoalan, sekumpulan asap berbayang hitam mulai terasa mengepul dari dalam kepala. Asap yang mencekami pikiran, menyelubungi hati, membuat kita tersilap dan menggigil ketakutan. Entah takut menerima kenyataan yang sudah hadir di depan mata, entah takut sang pihak kedua menyadari posisi diri kita, entah takut merasa lemah akibat sekali lagi membuat kesalahan yang sama. Semakin lama, asap hitam itu menghalusinasi pandangan, memetamorfosanya menjadi sosok melayang yang terlihat menjulang di hadapan.

Ketakutan yang maya menghadirkan ketakutan yang terlihat nyata. 

Dalam bahasa latin, "dementor" berasal dari kata kerja "demento" yang bermakna kengerian alias ketakutan. Itulah, mungkin, yang membuat visualisasi sosok dementor tampak separuh nyata separuh maya. Sosok hitam menggantung di atas tanah, seperti ketakutan kita yang terus mengitari akal sehat dan membekap hati.

Dementor tak pernah orang lain, dia adalah diri kita sendiri. Kita sendirilah yang sebetulnya lebih sering mengisap mimpi dan kesempatan yang hadir di depan mata. Karena apa? Bisa jadi karena tak cukup bernyali untuk mengakui dari mana semua prahara berasal. Kita lebih memilih untuk memunculkan dementor-dementor dari dalam kepala kita, menjajarkannya di hadapan dan mulai bersikap seolah dementorlah yang menyesap habis kedamaian dan kebahagiaan kita. Kita bahkan tanpa sadar menyeret dementor itu ke depan mata sang pihak kedua, kemudian mulai membacakan daftar kesalahan sang dementor sebagai tertuduh utama prahara antara kita dengan sang pihak kedua.

Lengkap sudahlah ritual kita sebagai "necromancer", peniup napas kehidupan bagi sang dementor. Tanpa kita sadar, secabik jiwa kita ikut menjadi korban. Jalan terang di hadapan memburam. Mimpi-mimpi yang sebelumnya mulai terang, meredup.

Kita menggelapi sendiri jalan takdir kita yang sudah dibuka semesta.

Kita pasti ingat, Harry Potter dilatih membuat "patronus" untuk "memerangi" para dementor. Apakah berupa senjata fisik? Sekawanan prajurit? Tidak. Berupa ingatan paling bercahaya dalam diri kita. Apalagi yang bisa mengalahkan stigma selain kesadaran?

Menciptakan dementor hanya akan membuat kita lelah. Lelah abai pada masalah utama, lelah berjibaku dengan pengisap akan sehat yang terlanjur liar membayangi pelupuk mata. Lebih baik bernyali untuk memerangi diri sendiri, dibandingkan sibuk menebah-nebah tombak ke tubuh transparan sang dementor.

Well, am I your dementor?