Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya cinta pada pandangan pertama?” Biarkan saya menjadi martir dan berdiri di barisan terdepan. Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya kisah cinta yang berlanjut dari kehidupan sebelumnya?” Maaf, biarkan kali ini saya tertinggal di barisan paling belakang.
Apakah itu berarti saya percaya hal yang setengah mitos setengah dongeng itu? Hemm, sebut saja begitu.
Beberapa hari terakhir, ketika bersantai di rumah melepas penat setelah seharian berjibaku dengan deretan kata, saya bertanya-tanya, apa saja sebenarnya penyebab seorang perempuan urban jatuh cinta. Apakah masih dengan deretan alasan lama, seperti cinta pada pandangan pertama, karena terbiasa, terpesona pada blink-blik materi, atau luluh akibat kecocokan yang sekembar kaus couple?
Sembari duduk di beranda belakang rumah, sambil menyesap secangkir teh hitam berpadu beberapa butir cengkeh, saya menelusuri isi kepala saya sendiri. Lantas, cinta seperti apa yang saya inginkan?Aroma teh hangat yang mengepul kasat mata menyapa cuping hidung saya. Hangatnya manis sekaligus legit. Seperti paduan udara pegunungan dan hamparan pepohonan rempah yang tersapa sinar matahari. Seperti aroma rumah jahe dalam dongeng kanak-kanak. Aroma yang memijati sel-sel kelabu saya perlahan, memberinya kesempatan untuk merelaksasi diri dan membisikkan pendapatnya.
Ketika mereka sibuk membuat daftar panjang kriteria, saya sibuk bertanya apa sebenarnya kriteria orang yang kepadanya saya bisa memercayakan tidak hanya separuh hati, tetapi juga mimpi dan obsesi, bahkan kotak-kotak berisi masa lalu yang menumpuk dalam nakas terkunci di relung terdalam hati.
Saya hanya ingin dia yang berlaku layaknya teh hitam dari gunung purba Dempo, yang pahitnya tetap syahdu saya sesap karena itulah bagian dari kenyataan hidup humani, yang manakala pahitnya hidup mengetuk pintu, dia akan tetap menggenggam jemari saya dan membuka pintu bersama-sama. Seberapa pun kerasnya kita mencoba untuk bersikap manis dan hanya memilih yang manis-manis, pahit akan tetap menyapa. Seperti sebatang cokelat yang tetap kita kunyah berkardus-kardus sepanjang hidup kita, meskipun rasa pahitnya tak pernah lenyap.
Saya hanya ingin dia yang bersikap layaknya madu dari pohon kapuk randu, yang manisnya tertakar dengan seimbang sehingga tak bosan rasanya untuk terus saya cecap. Manis yang tak membuat saya tersilap dan silau sesaat, tetapi menjadi disusupi energi baru yang meronai kedua pipi. Manis yang membuat saya menyadari betapa semesta sungguh murah hati dengan berkat dan kasihnya.
Saya hanya ingin dia yang bertabiat layaknya rerempah cengkeh dari pegunungan barat Jawa yang legit aristokrat, yang mengajari saya untuk taktis bergerak di dalam labirin remah-remah masalah dan problematika, tanpa kehilangan pikiran jernih dan hangat hati. Menyadarkan betapa hidup tak sekadar pahit-manis, tetapi juga bisa diupayakan untuk menjadi lebih elegan dan mendebarkan, jikalau segala sesuatunya dijalani dengan keyakinan dan otak cemerlang.
Saya hanya ingin dia yang tampil di depan saya layaknya jerangan air segar yang panas melarutkan debur jantung, setiap kali kuncup-kuncup rindu mekar tersapa musim semi saat jemari bertaut dan kecupan bersambut degup. Degup yang iramanya mampu mencairkan padang es di ujung kutub dunia.
Saya hanya ingin dia yang seperti racikan teh yang saya sesap, yang apa pun paduannya, tetap terasa hangat dan nyaman dengan sederhana.
Saya hanya ingin seseorang yang berdiri di sisi saya dengan apa adanya dia, membuat saya pun sanggup menemaninya dengan apa adanya saya.
Saya hanya ingin "dia" yang menatap mata cokelat saya lekat-lekat, menyampaikan pesan tanpa aksara.
Jika semua itu bisa dikatakan kriteria, well itulah kriteria kekasih idaman saya. Bagaimana cara saya bertemu dengannya? Ala klasik atau terkini? Masihkah jadi soal?