Pages

Jumat, 30 Agustus 2013

The (Uncalled) Love at The First Sight


Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya cinta pada pandangan pertama?” Biarkan saya menjadi martir dan berdiri di barisan terdepan. Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya kisah cinta yang berlanjut dari kehidupan sebelumnya?” Maaf, biarkan kali ini saya tertinggal di barisan paling belakang.

Apakah itu berarti saya percaya hal yang setengah mitos setengah dongeng itu? Hemm, sebut saja begitu.

Beberapa hari terakhir, ketika bersantai di rumah melepas penat setelah seharian berjibaku dengan deretan kata, saya bertanya-tanya, apa saja sebenarnya penyebab seorang perempuan urban jatuh cinta. Apakah masih dengan deretan alasan lama, seperti cinta pada pandangan pertama, karena terbiasa, terpesona pada blink-blik materi, atau luluh akibat kecocokan yang sekembar kaus couple?

Sembari duduk di beranda belakang rumah, sambil menyesap secangkir teh hitam berpadu beberapa butir cengkeh, saya menelusuri isi kepala saya sendiri. Lantas, cinta seperti apa yang saya inginkan?Aroma teh hangat yang mengepul kasat mata menyapa cuping hidung saya. Hangatnya manis sekaligus legit. Seperti paduan udara pegunungan dan hamparan pepohonan rempah yang tersapa sinar matahari. Seperti aroma rumah jahe dalam dongeng kanak-kanak. Aroma yang memijati sel-sel kelabu saya perlahan, memberinya kesempatan untuk merelaksasi diri dan membisikkan pendapatnya.

Ketika mereka sibuk membuat daftar panjang kriteria, saya sibuk bertanya apa sebenarnya kriteria orang yang kepadanya saya bisa memercayakan tidak hanya separuh hati, tetapi juga mimpi dan obsesi, bahkan kotak-kotak berisi masa lalu yang menumpuk dalam nakas terkunci di relung terdalam hati.

Saya hanya ingin dia yang berlaku layaknya teh hitam dari gunung purba Dempo, yang pahitnya tetap syahdu saya sesap karena itulah bagian dari kenyataan hidup humani, yang manakala pahitnya hidup mengetuk pintu, dia akan tetap menggenggam jemari saya dan membuka pintu bersama-sama. Seberapa pun kerasnya kita mencoba untuk bersikap manis dan hanya memilih yang manis-manis, pahit akan tetap menyapa. Seperti sebatang cokelat yang tetap kita kunyah berkardus-kardus sepanjang hidup kita, meskipun rasa pahitnya tak pernah lenyap.

Saya hanya ingin dia yang bersikap layaknya madu dari pohon kapuk randu, yang manisnya tertakar dengan seimbang sehingga tak bosan rasanya untuk terus saya cecap. Manis yang tak membuat saya tersilap dan silau sesaat, tetapi menjadi disusupi energi baru yang meronai kedua pipi. Manis yang membuat saya menyadari betapa semesta sungguh murah hati dengan berkat dan kasihnya.

Saya hanya ingin dia yang bertabiat layaknya rerempah cengkeh dari pegunungan barat Jawa yang legit aristokrat, yang mengajari saya untuk taktis bergerak di dalam labirin remah-remah masalah dan problematika, tanpa kehilangan pikiran jernih dan hangat hati. Menyadarkan betapa hidup tak sekadar pahit-manis, tetapi juga bisa diupayakan untuk menjadi lebih elegan dan mendebarkan, jikalau segala sesuatunya dijalani dengan keyakinan dan otak cemerlang.

Saya hanya ingin dia yang tampil di depan saya layaknya jerangan air segar yang panas melarutkan debur jantung, setiap kali kuncup-kuncup rindu mekar tersapa musim semi saat jemari bertaut dan kecupan bersambut degup. Degup yang iramanya mampu mencairkan padang es di ujung kutub dunia.

Saya hanya ingin dia yang seperti racikan teh yang saya sesap, yang apa pun paduannya, tetap terasa hangat dan nyaman dengan sederhana.

Saya hanya ingin seseorang yang berdiri di sisi saya dengan apa adanya dia, membuat saya pun sanggup menemaninya dengan apa adanya saya.

Saya hanya ingin "dia" yang menatap mata cokelat saya lekat-lekat, menyampaikan pesan tanpa aksara.

Jika semua itu bisa dikatakan kriteria, well itulah kriteria kekasih idaman saya. Bagaimana cara saya bertemu dengannya? Ala klasik atau terkini? Masihkah jadi soal?

Rabu, 21 Agustus 2013

Teh Cengkeh Kapulaga

Malam ini, rinduku pasti berdebaran. Layak disyahdui dengan secangkir teh rempah. Satu bag teh hitam Inggris Raya, diseduh di dalam gelas keramik putih berhiaskan bunga ungu kesayanganku, bersama air mineral segar yang 90% mendidih, yang mengucuri racikan beberapa butir cengkeh dan sebutir kapulaga, berbaur dengan dua sendok teh gula pasir. 

Menghirupnya hangat-hangat, seperti menghadirkan teman bagi sang rindu yang bertajuk namamu. Kurasa kau pun begitu. Bagi kita, rindu itu tak perlu dinamai. Anonim saja.

Minggu, 04 Agustus 2013

Youngster Lesbian



Proses adalah jati diri setiap manusia? Tentu. Tak ada proses yang salah? Bisa jadi. Lantas? Apa masalahnya? Seberapa yakinkah engkau bahwa yang sedang kau jalani kini layak disebut "proses"?

Beberapa hari lalu, di tengah kesibukan kantor, saya melongok akun Facebook Rafilus Olenka milik saya. Saat scrolling cepat di beranda akun, mata saya menangkap nama sebuah grup lesbian yang diikuti oleh salah seorang teman Facebook saya. Jangan tanya apa namanya, saya sendiri tak cukup bisa mengejanya dengan baik.

Biasanya saya malas ber-kaypoh-ria menelusuri hal semacam ini, hari itu rasa ingin tahu saya mendadak tak mau kalah saing dengan Sherlock Holmes. Jemari saya mengklik akun grup itu, tanpa ada harapan apa pun tentang apa yang akan saya temukan di dalamnya.

No, saya bukan antilesbian ABG, saya juga pernah berada dalam golongan itu. Tapi, ya bagaimana ya, tetap saja saya cukup tercengang mendapati mayoritas member (dari posting-an yang saya baca) di grup itu berkategori remaja. Mereka asyik saja mem-posting usia, label, nomor telepon, bahkan nama sekolah. Apa isi postingan mereka? 90% mencari jodoh, sisanya menjadikan beranda grup itu semacam tembok ratapan. 

Saya cuma jadi menarik memori lama. Apa yang terjadi pada diri saya ketika berusia seperti kebanyakan member grup itu, usia sekolah. Ketika SMA saya mulai bertanya-tanya tentang kecenderungan seksualitas saya. Tanda tanya yang sulit dicarikan jawaban karena keterbatasan sarana beroleh informasi. Internet belum jamak, nanya ke orang lain apalagi. Sementara saya mulai dikitari *uhuk* fans dari khalayak adik-adik kelas saya, sembari memantapan kedekatan pada seorang kakak kelas tiga yang saat itu terlihat cantik memesona di mata saya.

Sakit kepala karena tak tahu harus bertanya ke mana? Tentu. Apalagi yang bisa saya lakukan selain berdiam dan menikmati gejolak di dada. Di lain sisi, saya tetap menjalani keasyikan aktivitas sekolah dan kegiatan berlatih pencak silat. Kalau saat itu sudah ada Facebook, apakah saya akan ikut "mengiklankan" diri di grup semacam itu? Hemm, saya rasa tidak.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah para "youngsters" itu cukup memanfaatkan ketersediaan informasi yang melimpah sekarang ini dengan cukup baik? Ataukah terlupa dan memilih untuk memanfaatkan teknologi demi mempermulus aktivitas "girlfriend's hunting"? Pilih mana, memahami kecenderungan seksualitas diri dulu, baru mencari pasangan, atau mencari pasangan dulu baru berpikir berdasarkan pengalaman?

Yah, paling tidak sih, tak ada salahnya mencari informasi mendasar terlebih dahulu, tentang apa itu lesbian, sekian kemungkinan mengapa seorang menjadi lesbian, bahkan pengalaman lesbian lainnya. Toh semua itu meluap di dunia maya. Tinggal cari saja, kalau berniat. Fase itu telat saya lalui, baru ketika kuliah. Ketika sudah "terlanjur" tinggal bareng partner dan merasai remah-remah cinta ala lesbian. Maklum, baru ketika kuliah keleluasaan akses teknologi dan informasi saya dapatkan. Nasib tinggal di desa pedalaman.

Dalam salah satu posting-an member grup itu, saya membaca "iklan" seorang butch yang masih duduk di bangku SMA. Dengan bangga ia menceritakan seberapa butch ia dan kriteria femme yang sedang di-hunting-nya. Entah mengapa, ia bahkan mencantumkan nama sekolahnya. Sekolah swasta yang ada di... kota asal saya! Tak berpikir panjangkah mereka? Atau memang tak merasa hal itu perlu dipikir panjang?

Memang, proses setiap orang berbeda, yang sama adalah kenyataan bahwa setiap orang punya tanggung jawab yang sama kepada dirinya sendiri. Tanggung jawab untuk sepenuhnya memilihkan proses hidup yang lebih baik bagi dirinya, tanggung jawab untuk memberikan pemahaman bagi jiwa dan pikirannya, tanggung jawab untuk menghindarkan diri sendiri dari kemungkinan negatif yang bisa membakar energi dan potensi diri.

Saya masih ingat betapa inginnya saya ketika masih remaja, untuk mendapatkan tempat bertanya tentang adukan perasaan dan pertanyaan yang saat itu mulai menggejolak. Saya berandai-adai ada kakak kelas atau orang dewasa atau teman sebaya yang bisa berbagi cerita tentang hal itu. Tak saya temukan, bahkan sampai duduk di bangku kuliah. Jujur, saya iri, dengan lesbian muda sekarang ini, yang bisa bebas browsing mencari tahu tentang dunia lesbian, bahkan menemukan teman sesama lesbian yang bisa diajak bertukar pendapat. Keleluasaan yang dalam kacamata saya tentu bisa membuat mereka menjadi lesbian yang sepenuhnya yakin tentang identitasnya, tahu mau berbuat apa, dan mantap menyusun mimpi-mimpi masa depannya sedari muda.

Well, yeah, itu semua memang (lagi-lagi) pilihan. Mau jadi lesbian ala kadarnya yang cukup puas dengan "merasa diri" lesbian dan buru-buru menenggelamkan diri dalam aktivitas hunting. Atau mau repot-repot menanamkan pengetahuan dan keyakinan yang mencukupi bagi dirinya sendiri, sembari meningkatkan kualitas diri agar tangguh menghadapi riuhnya dunia nyata di luar sana. Tentu, sambil membuka hati kalau-kalau ada dia di sebelah sana yang mampu mendeburkan dada.

Kalau memang yang menjadi pilihan adalah sibuk memenuhi beranda grup-grup lesbian dengan iklan mencari jodoh, sibuk menarget para straight yang ada di sekitar, sibuk memaki nasib karena menyalibnya dengan label "L", atau sibuk memenuhi akun social media dengan rintihan-ratapan-doa menyayat hati tentang betapa sepinya hidup tanpa kekasih hati, yah silakan saja.

Asal jangan saat usia sudah memasuki kepala tiga, baru menyesali diri dan buru-buru mengejar ketertinggalan. Ke mana saja selama ini?