Membuka pagi dengan jemari yang mengetuki tuts hitam seinterval debur jantung. Menakar. Terkadang, kenyataan yang hadir apa adanya di depan mata membuat manusia memanjangkan pikiran, mengumpulkan sekian kemungkinan dan fakta tambahan, menimbang abcd opsi. Kemudian menyeberang jalan saat lampu hijau sudah mengisyarati.
Saya pernah nyaris menikmati waktu di Saigon City dengan hanya bergeming kaku di samping lampu lalu lintas di sebuah perempatan dekat Benh Than Market. Traffic Saigon yang tersohor sadis, dengan tingkat kesadaran lalu lintas yang sangat rendah, membuat tingkat kecelakaan di kota ini sangat tinggi, terutama bagi pejalan kaki dan penyeberang jalan. Menyeberang jalan tak pernah jadi favorit saya. Sama seperti roller coaster yang menjadi musuh bebuyutan saya.
Dan, bergeminglah saya di sebuah perempatan itu. Menghitung nyali, mempertaruhkan keberanian yang hampir susut dalam darah. Menyeberang atau tidak. Melanjutkan perjalanan atau tidak. Opsi terironisnya, pulang kembali ke Jakarta atau tidak. Mencengangkan melihat perkara seberang-menyeberang saja punya dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup alam raya *halah.
Jika saya tidak menyeberang, saya tidak akan bisa kembali ke guest house dan mengambil backpack 60 liter saya yang tersimpan di sana. Tidak mengambil backpack artinya saya tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tidak bisa melanjutkan perjalanan artinya saya tidak akan bisa pulang kembali ke balik selimut hangat merah marun di kamar tidur saya di selatan Jakarta.
Tidak menyeberang artinya saya berkesempatan menjadi patung monumen di negeri Paman Ho ini. Monumen berbentuk seorang gadis mungil berwajah khawatir yang terus berdiri bersisian bersama lampu lalu lintas selama bermasa-masa.
Menyeberangkah saya akhirnya? Kamu pikir hantu penasaran bisa mengetiki huruf di blog ini? Yap, saya menyeberang. Sendiri? Tidak. Setelah menunggu sekian lama, ada serombongan manusia pemilik kota bercampur traveler berbagai bangsa yang menjejali trotoar di samping saya. menenggelamkan diri ke dalam arus manusia itu menjadi pilihan saya. Di dalam kerumunan pasukan berani mati itu, sampailah saya dengan selamat ke seberang jalan. Kurang dari 12 jam kemudian, saya sudah menyusup ke balik selimut.
Dan, di sinilah saya, sekarang, berdiri di sebuah persimpangan jalan. Bersisian dengan lampu lalu lintas triwarna. Membiarkan mata cokelat saya melahap deru lalu-lalang aktivitas semesta. Tak peduli biarpun entah sudah berapa kali lampu hijau mempersilakan saya untuk melangkah, Tak tergoda meskipun satu demi satu pejalan datang menawarkan diri mengantar saya ke seberang.
Bukan, bukan, saya tidak sedang membeku panik karena tidak berani menyeberang kali ini. Saya hanya sedang... menanti. Seseorang yang tempo hari saya jumpai di sebuah bazaar perayaan yang riuh menjual aneka hasil bumi dan penganan yang menerbitkan selera. Saya sedang merapikan barang dagangan saya, toples-toples kaca berisi teh dari segenap penjuru samudra dan benua, sembari melayani beberapa pembeli yang menarik minat saya.
Dia datang tanpa ada isyarat. Tanpa embus angin pancaroba atau susupan mimpi-mimpi panjang. Datang dengan segulung lontara yang entah berasal dari masa purba yang mana. Kemudian berlalu sampai kerling mata saya pun tak sanggup menjangkau. Lontara berisi sederet kalimat yang membuat hati saya termantrai dan mengamini.
Ini aku, akhirnya, datang dari masa yang dahulu. Masa ketika ujung jemariku dipenuhi magi tana utara. Masa ketika hari-hari terkadang kulalui sembari melihatmu mengatur pasukan dengan menawan. Tunggu aku, kita akan menyeberang dan pulang ke rumah. Rumah kita.
"Selamat datang, kembali," gumam saya dalam hati. Sambil mengirup dalam-dalam sisa aroma hutan hujan bercampur manis rum berusia lampau yang tersisa di dalam kedai teh saya. Sisa aroma yang tadi dibawa sang pembawa lontara.
Ya, saya sedang menunggunya datang. Menunggunya menghampiri jemari saya, kemudian menggenggam dan membawa saya ke seberang. Saya hanya tahu satu: dia akan datang. Pasti. Jikalau bermasa berzaman ini saja saya sanggup menantinya, mengapa tidak jika hitungannya hanya bulan-matahari bumi?