Pages

Senin, 29 Juli 2013

Count


Saya dan angka-angka sudah lama seperti dua kutub magnit, saling menegasi. Menghitung bukanlah pekerjaan yang akan saya tempatkan di daftar paling atas hal-paling-menyenangkan-di-muka-bumi. Apa lacur, menghitung akhirnya kini menjadi candu baru. 

Menghitung kapan engkau akan pulang lagi, ke rumah, kita. Menghitung kapan lagi ada dua nada suara yang meriuhi setiap sudutnya. 

Kamis, 25 Juli 2013

Karrume Kronikel



Sebut saja ini dongeng, atau legenda, bahkan fiksi fantasi. Apa saja, tak jadi soal, selama kau membacanya dengan membiarkan sulur-sulur sihir mengalir dari ujung jemarimu. Ya, sihir, sihirmu. Kau tak yakin punya? Ah, tampaknya kau terlupa bahwa setiap humani punya bilik kecil di dalam hatinya, dengan rak-rak mahoni yang dipenuh berkantung serbuk sihir berbilang warna. Pejamkan mata, bayangkan mata nanar-penasaran-takjub milikmu sedang sibuk menatapi kantung-kantung itu. Pilih satu, mana saja yang kau suka.

Sudah? Benamkan jemarimu ke dalamnya, barulah kau gunakan untuk meneruskan putaran roda tetikus. 

Scroll down.

Ini kisah penuh karrume kuno, tentang Sira dan Sayl. Pada suatu masa, ketika Toba-Meru-Krakatau-Dempo-Tambora masih menjadi tiang-tiang peyangga Atlantis purba. Ketika matahari masih tampak bulat terang jelas di bentangan langit yang belum lagi mengenal kelabu polutan. Ketika sekat-sekat samudra belum tercipta, ketika satu dunia adalah hamparan negeri yang menyatu.

Sira, adalah seorang gadis pemagi dari tanah tinggi di Negeri Utara. Bangsamu kini menyebut pemagi dengan kata “penyihir”, meski tak banyak lagi, mungkin, yang memercayai. Dari ujung jemari miliknya, mengalir sihir penyaman suasana. Ia bisa menyejuki satu ruangan yang dipenuhi aura ego yang merah-panas-meletup. Ia bisa memadamkan bara amarah yang membakar bola mata seorang pengangkara. Bahasa Tanah Barat menyebutnya “comforter”. Ia gemar duduk di tepian sungai Saddang, menikmati suara gemericik air yang selalu terburu-buru mencari muara akhir. Membiarkan rambut panjangnya yang keperakan berkibaran diembus angin Negeri Utara yang dingin sejuk. 

Sayl? Gadis bermata cokelat itu seorang petarung dari Kerajaan Maja. Kedua telapak tangannya digurati memori tentang latihan demi latihan yang menempanya sejak kanak-kanak. Sorotnya dingin, gerahamnya lebih sering mengatup keras. Berbaris pasukan menjadi bayangannya kini. Sesekali, ia akan duduk di atas kuda cokelat kemerahan miliknya, bergeming memandangi pasukannya berdencingan berlatih memanah dan menombak. Membiarkan ujung ikat kepalanya berkibaran diembus angin panas Tanah Timur. 

Sama seperti tidak pernah ada humani yang tahu, ke arah mana dandelion kecil berpulang akhir, tak ada yang tahu juga bagaimana waktu menyusun anagram misterinya hingga entah Sayl entah Sira sejatinya tak pernah tahu bahwa pada suatu masa mereka akan bertemu di tengah negeri. Mulanya seteru, kemudian sekutu.

Bagaimana bisa? Tanyanmu, barangkali. Ya, awalnya mereka layaknya purnama dan matahari tengah hari, selalu bersilang jalan. Penguasa separuh waktu dunia. Sampai pada suatu ketika.... (bersambung)

Selasa, 23 Juli 2013

Teaology



Jika ditanya, setelah Tuhan, buku, kekasih hati, dan perjalanan, apa yang sanggup membuat saya abai dengan dunia beserta isinya? Tidak berani menebak? Bukan, bukan outfit terbaru, bukan juga kulineri super lezat. Teh. Teh? Ya, teh.

Pernahkah kau mendengar cerita tentang “revolusi teh” yang dilancarkan oleh para perempuan Inggris berzaman lampau? Tidak? Maukah sekadar mengingati lagi sejarah kecil itu? Saya janji, tak akan lama.

Kala itu, para lelaki Inggris sedang dimabuk aroma pahit membius yang dari biji-bijian yang baru saja mereka bawa dari Asia Barat. Kohwah. Kita mengenalnya dengan nama: kopi. Demam kopi menjangkiti hampir semua lelaki Inggris, terutama para bangsawan dan politisi negeri. Kedai kopi mulai bertaburan, persis seperti kedai kopi lucu yang sekarang pun familier menjadi pemandangan mata kita.

Kopi menjadi sumber adiksi. Para suami tak pulang, para lelaki enggan beranjak dari gelas demi gelas di meja kedai yang berisi seduhan pekat kopi Arab. Entah berapa banyak strategi, kesepakatan, intrik, bahkan skandal yang digagas dari meja-meja itu.

Makmurkah Inggris karenanya? Sebaliknya. Revolusi mulai memanas, dari dapur-dapur dan ruang rias para duches. Tuntutannya cuma satu: tutup semua kedai kopi! Kedai kopi mencuri para lelaki mereka. Mereka pun bersiasat, merancang manifesto dan strategi operasi lapangan. Hasilnya?

Teh-teh diseduh, acara minum teh sore resmi diluncurkan sebagai strategi taktis membawa lelaki mereka kembali ke dalam pelukan keluarga.Berhasilkah? Kedai-kedai kopi ditutup. Tamat riwayatnya tradisi minum kopi yang baru seumur jagung itu. Sebagai gantinya, setiap rumah punya tradisi baru, minum teh sore ditemani kue-kue dan penganan ringan.

Sejak itu, acara minum teh menjadi ikon Inggris. Sama tersohornya dengan Oasis (sorry, saya tidak mencontohkan One Direction, bagi saya pemusik nomor wahid Inggris tetap Oasis #sikap) dan Platform 9 ¾.

Teh bagi saya seperti kekasih yang terkadang tak selalu ada di sisian. Teh pekat bergamot menemani malam-malam panjang penuh kejaran deadline. Teh rempah merelaksasi pikiran setelah hari yang penuh letih. Teh hijau membuka pagi dengan syahdu dan damai. Teh buah dingin menerbitkan senyum cerah setelah berpanas diteriki matahari. Teh susu mendatangkan lelap kala mata tak mau juga memejam. Teh cokelat hangat mengalirkan ide ketika jemari tak menemukan jalan untuk membuka pekerjaan. Ah, selalu ada racikan teh yang bisa diseduh untuk menemani setiap suasana.

Ya, saya termasuk penyeduh super egois, saya biasanya hanya menikmati sendiri semua racikan saya. Enggan berbagi. Biasanya, jikalau ada teman yang datang, saya hanya menyeduh pilihan standar saja. Kini? Yang pasti, racikan teh saya sudah menemukan penyesap barunya. Penyesap yang selalu menerima sodoran cangkir hangat mengepul yang saya hulurkan. Tanpa peduli apa isinya dan apa rasanya. Would you be my teamate, then, Penyesap? 




Senin, 22 Juli 2013

(Will) Home to You




Selama ini, rumah adalah sudut-sudut dunia yang selama ini tersapa langkah dan ranselku. Rumah adalah pantai berparas senja tempatku duduk diam menakar mimpi. Rumah adalah teras-teras gedung kuno yang memori panca indranya gemar kuirupi diam-diam. Rumah adalah segala moda transportasi tempatku merentang usia.

Mengetahui bahwa kini rumah adalah engkau, tak teraksarakan.

Selasa, 16 Juli 2013

Peluk



Sejak tadi pintu rumah kubuka, menanti kiranya ada dandelion sekuntum saja yang singgah terbawa angin sampai ke teras Rumah Hobbit.
Untuk apa? Menitipkan sepercik mantra untuk dibawanya pergi, menujumu.
Nah, sudah.
Buka telapak tanganmu, biarkan dandelion pengelana itu hinggap di atasmu.
Tunggu, jangan kau tiupi ia, jangan pula kau tepiskan.
Pejamkan kedua matamu, Silver, ucapkan mantra ini empat kali:

sebelas menuju genap satu, malaikat beruang kecil meronta pulang
bergegas kau pejamkan mata dahulu, ingati hangat yang selalu mendekapmu berulang

Terasakah? Hangat dekapan yang dihantarkan dandelion kecil dalam kantung maginya?
Dekapan yang katamu membuatmu seolah tergravitasi ke arahku,
membuatku sentiasa berjaga dengan meneguhkan bahu dan pijakan.
Dekapan yang akan selalu menyambutmu setiap kali pulang, ke rumah, kita.

Minggu, 14 Juli 2013

Men(unggu)anti


Membuka pagi dengan jemari yang mengetuki tuts hitam seinterval debur jantung. Menakar. Terkadang, kenyataan yang hadir apa adanya di depan mata membuat manusia memanjangkan pikiran, mengumpulkan sekian kemungkinan dan fakta tambahan, menimbang abcd opsi. Kemudian menyeberang jalan saat lampu hijau sudah mengisyarati. 

Saya pernah nyaris menikmati waktu di Saigon City dengan hanya bergeming kaku di samping lampu lalu lintas di sebuah perempatan dekat Benh Than Market. Traffic Saigon yang tersohor sadis, dengan tingkat kesadaran lalu lintas yang sangat rendah, membuat tingkat kecelakaan di kota ini sangat tinggi, terutama bagi pejalan kaki dan penyeberang jalan. Menyeberang jalan tak pernah jadi favorit saya. Sama seperti roller coaster yang menjadi musuh bebuyutan saya. 

Dan, bergeminglah saya di sebuah perempatan itu. Menghitung nyali, mempertaruhkan keberanian yang hampir susut dalam darah. Menyeberang atau tidak. Melanjutkan perjalanan atau tidak. Opsi terironisnya, pulang kembali ke Jakarta atau tidak. Mencengangkan melihat perkara seberang-menyeberang saja punya dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup alam raya *halah.

Jika saya tidak menyeberang, saya tidak akan bisa kembali ke guest house dan mengambil backpack 60 liter saya yang tersimpan di sana. Tidak mengambil backpack artinya saya tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tidak bisa melanjutkan perjalanan artinya saya tidak akan bisa pulang kembali ke balik selimut hangat merah marun di kamar tidur saya di selatan Jakarta. 

Tidak menyeberang artinya saya berkesempatan menjadi patung monumen di negeri Paman Ho ini. Monumen berbentuk seorang gadis mungil berwajah khawatir yang terus berdiri bersisian bersama lampu lalu lintas selama bermasa-masa.

Menyeberangkah saya akhirnya? Kamu pikir hantu penasaran bisa mengetiki huruf di blog ini? Yap, saya menyeberang. Sendiri? Tidak. Setelah menunggu sekian lama, ada serombongan manusia pemilik kota bercampur traveler berbagai bangsa yang menjejali trotoar di samping saya. menenggelamkan diri ke dalam arus manusia itu menjadi pilihan saya. Di dalam kerumunan pasukan berani mati itu, sampailah saya dengan selamat ke seberang jalan. Kurang dari 12 jam kemudian, saya sudah menyusup ke balik selimut.

Dan, di sinilah saya, sekarang, berdiri di sebuah persimpangan jalan. Bersisian dengan lampu lalu lintas triwarna. Membiarkan mata cokelat saya melahap deru lalu-lalang aktivitas semesta. Tak peduli biarpun entah sudah berapa kali lampu hijau mempersilakan saya untuk melangkah, Tak tergoda meskipun satu demi satu pejalan datang menawarkan diri mengantar saya ke seberang.

Bukan, bukan, saya tidak sedang membeku panik karena tidak berani menyeberang kali ini. Saya hanya sedang... menanti. Seseorang yang tempo hari saya jumpai di sebuah bazaar perayaan yang riuh menjual aneka hasil bumi dan penganan yang menerbitkan selera. Saya sedang merapikan barang dagangan saya, toples-toples kaca berisi teh dari segenap penjuru samudra dan benua, sembari melayani beberapa pembeli yang menarik minat saya.

Dia datang tanpa ada isyarat. Tanpa embus angin pancaroba atau susupan mimpi-mimpi panjang. Datang dengan segulung lontara yang entah berasal dari masa purba yang mana. Kemudian berlalu sampai kerling mata saya pun tak sanggup menjangkau. Lontara berisi sederet kalimat yang membuat hati saya termantrai dan mengamini.

Ini aku, akhirnya, datang dari masa yang dahulu. Masa ketika ujung jemariku dipenuhi magi tana utara. Masa ketika hari-hari terkadang kulalui sembari melihatmu mengatur pasukan dengan menawan. Tunggu aku, kita akan menyeberang dan pulang ke rumah. Rumah kita

"Selamat datang, kembali," gumam saya dalam hati. Sambil mengirup dalam-dalam sisa aroma hutan hujan bercampur manis rum berusia lampau yang tersisa di dalam kedai teh saya. Sisa aroma yang tadi dibawa sang pembawa lontara.

Ya, saya sedang menunggunya datang. Menunggunya menghampiri jemari saya, kemudian menggenggam dan membawa saya ke seberang. Saya hanya tahu satu: dia akan datang. Pasti. Jikalau bermasa berzaman ini saja saya sanggup menantinya, mengapa tidak jika hitungannya hanya bulan-matahari bumi?