Apa rasanya? Seperti teh susu yang salah takaran. Seperti teh herbal yang terlalu banyak cardamon. Nikmat, tapi kurang. Sangat.
***
“Kacamata baru, Lu?”
“Ga, cuma ganti lensa saja.”
“Sengaja pilih yang gelap begitu, ya? Jadi kelihatan aneh, kayak pakai sunglass di dalam ruangan.”
“Iya, sengaja. Lagi kepingin saja.”
“Tapi, keren kok, Lu. Semoga pelanggan ga salah kira kamu tukang pijit ya haha.. .”
“Hehe.. .”
Aku sudah lupa, kapan pertama kali mengenalnya. Sepertinya jauh sebelum kami akhirnya bekerja di tempat yang sama. Aku penyeduh, Al penyaji. Aku pembaca, Al perekam. Setiap hari ia sibuk melayani para pengunjung dan pelanggan tetap kafe ini. Dengan senyumnya yang anggun dan tarikan wajah khas negeri timur. Ia tak pernah terlihat terburu-buru. Tenang saja menyaji satu demi satu, hingga entah porsi ke berapa.Barangkali, banyaknya pengunjung yang datang bukan sekadar ingin menikmati aneka kopi dan teh yang menjadi sajian khas kafe ini, melainkan juga ingin curi-curi menikmati indahnya. Al. Sama sepertiku.
“Lu, ada pengunjung yang sedang muram dan lesu harinya. Ia ingin segelas teh yang bisa membuatnya lebih relaks dan sedikit bersemangat kembali.”
“Hemm, oke. Akan kubuatkan. Sebentar.”
Inilah salah satu hal yang kusuka dari bekerja di kafe ini. Tak perlu menghapal resep dan rutin tertentu. Setiap orang datang dengan suasana hati dan pikiran yang berbeda. Dengan impian dan angan yang berbeda. Dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Menjadi sempurna bukan ketika segelas minuman dibanderol tinggi, atau dilabel nama prestisius. Melainkan ketika setiap tetesnya punya makna tersendiri bagi yang meminum. Tidak sekadar melegakan haus, tapi juga menerbitkan kesadaran. Aku sendiri bukan sahabat kopi. Karenanya hanya bilik teh yang menjadi wilayah kekuasaanku.
“Al, ini teh yang kau pesan tadi.”
“Teh apa jadinya, Lu?”
“Basicly, ini spicy tea. Teh hitam Jawa yang diseduh ringan, dicampur sedikit sereh, lemon, dan madu kapuk randu. Kalau ia mau gula, kasih yang gula batu, ya.”
“You’re the best, Lu.”
Al? Ia coffeeholic. Setahuku, ia jarang menyesap teh. Pun ketika kami semua sedang menikmati jamuan bersama karyawan yang lain. Kopinya kuat, entah jenis apa. Campurannya dedaunan rempah kuno. Aku tak mengerti kopi. Terlalu berkesan gelap dan keras. Meninggalkan jejak yang seolah memang ingin nampak. Namun, sejak kemarin aku menjadi terobsesi dengan kopi. Tepat setelah Al mengungkapkan hadiah ulang tahun yang diinginkannya.
***
“Sebentar lagi aku ulang tahun, nih, Lu. Kasih kado dong.”
“Memangnya kamu mau kado apa, Al?”
“Racikan kopi yang bisa bikin El menerima cintaku. Buatin dong, Lu.. .”
“Aku kan ga ngerti tentang kopi, Al.”
“Ayolah, Lu.. .”
“Hemm, kucoba dulu, ya.”
“You’re the best, Lu!”
Dus. Segelas kopi. Untuk El. Seperti memaksaku menelan biji kopi mentah-mentah. Detik itu juga aku butuh secangkir teh. Kujerang setengah ketel air. Memilih teko porselen coklat tua bermotif huruf arya purba. Sesaat sebelum ketel berbunyi, kutuang sedikit air panas ke dalam teko, agar suhu teko siap menerima kejutan limpahan air berikutnya, dan membuangnya. Aku memilih early grey yang kental dan kuat. Cukup kuat untuk menampar dan menyadarkanku. Tanpa gula. Gula hanya candu yang mengelabuhi kenyataan.
Seteko tandas. Tak juga bisa kuhilangkan ia dari benak nyalangku. Kuseduh lagi segelas besar teh tubruk dari puncak Guci yang pahitnya terasa lebih menggigit. Kuteguk tanpa merasai. Seperti manipulasi diri yang coba kulakukan serapi mungkin berbulan-bulan ini. Membatu-bisu seolah pandangku padanya tak ada beda. Padahal nanar kerap kulayangkan tiap ia berkelebatan dari satu meja ke meja yang lain. Mengurai sendu seolah imajiku semu, padahal mimpi demi mimpi kerap merajai meski sekedipan. Aku tak lagi mampu bersirobok tatap. Bahkan lensa baru ini pun kupilih agar ia tak tahu bahwa aku tak pernah jenak di sekitarannya.
***
“Selamat ulang tahun, Al, semoga bahagia adalah hari-harimu.”
“Terima kasih, Lu, kadonya mana?”
“Tenang, itu sudah kusiapkan. Tinggal dibawa dan dituang saja untuk El.”
“Dijamin?”
“Dijamin.”
***
Diam-diam kutuang kopi ramuan itu ke gelas kopi pagi Al. Diam-diam kutuang kopi biasa saja ke termos kecil untuk El. Seperti Al yang diam-diam memimpikannya. Aku pun sama. Diam-diam bermimpikannya.
Namun, kami berbeda. Biarlah ia tetap menjadi bintang yang terlihat gemerlapnya saat malam, dan bukan saat matahari berjaya. Agar bisa selalu membuatku tersenyum syahdu setiap menatapnya di kegelapan. Maka, tentu saja tak kulakukan hal itu. Kopi ramuanku tetap kuberikan untuk dianya. Agar senyumnya kan selalu terbit. Agar bahagianya menjadi nyata. Dan biarlah aku tetap bermandi mantra cinta, diam-diam.
*untuk para "diamers", ada kalanya diam adalah yang terbaik, ada kalanya diam tak lagi mampu dibendung, ada kalanya berseimbang antara diam dan mengungkap adalah yang lebih elok. selamat diam-diam! :)