Pages

Jumat, 13 Desember 2013

Happy December, Finally



Masih penasaran menanti kado-kado kecil dariku, Silver? Tukarkan rasa penasaranmu dengan semangkuk sabar di kedai depan rumah, ya :) Akan tiba masa ketika binar matamu menerangi kamar cokelat yang sekarang disemaraki selimut merah jambu. Binar ala kanak-kanak yang menunggu Natal dengan sedikit-sedikit melongok dari celah pintu.

Tak perlu ditunggu, kadoku sederhana saja, hanya sekeping doa, agar Sang Dharma memindahkan sehamparan samudra sabar dalam kedua dada kita, hingga bisa menjalani hari-hari bersama dengan tekun dan bahagia.

Kemari, seduhan teh Desember sudah mengepul di teras belakang.

Selasa, 03 Desember 2013

Blessed



Berkat adalah ketika terang jalan tetap terlihat jelas pada setiap sapa kabut dan kelam temaram. Cinta adalah ketika pemahaman menguar dari setiap pilihan langkah dan pikir. Cinta adalah ketika rentangan dekap selalu tersedia untuk kekasih hati pada setiap kesempatan.

Kamis, 28 November 2013

Simple


Berlaku sederhana bagi kebanyakan manusia modern, rasanya sama sulitnya dengan mencari seporsi nasi jagung berlauk ikan asin goreng dan urap daun turi di supermarket berlabel komoditas impor. 

Sebegitunyakah?

Sederhana berubah menjadi kata ajaib yang dianggap cuma ada dalam KBBI. Segala sesuatu harus super rumit dan sophisticated, sebanding dengan gadget yang disesaki dengan segala aplikasi yang entah dimengerti entah tidak. Telepon genggam yang cuma monochrom bisa telepon bisa berkirim pesan, dianggap terlalu sederhana. Terlalu sederhana berarti kurang canggih menyejajari pola kehidupan mereka yang multitasking. Semakin multitasking seseorang, dianggap semakin modern. Apa-apa yang tampak sederhana, dirasa patut dicurigai. 

Ah, ah....

Ironisnya, dalam melirik lingkungannya pun, manusia modern ini bersikap sama. Kesederhanaan alasan tak bisa diterima, melulu dicari-cari celahnya, dianggap bagian dari rekayasa, konspirasi, aksi balas dendam, bahkan evolusi. Aih! 

Hati-hati, semakin tak bisa sederhana melihat semesta, semakin tak sederhana pula cara kita menghirup napas segar yang berlimpah ini :) 

Senin, 18 November 2013

See You When I See You



Meski sudah mulai terbiasa, mengecup tanganmu setiap turun dari Marcell yang mengantarku merangkai mimpiku pada pagi hari, sekaligus melepasmu terbang memahat mimpimu, tetap saja terasa.... sepa.

Seperti teh tanpa gula yang diseduh dari air dispenser. Terasa kurang.

Saat membuka pintu rumah, dan mendapati di dalamnya hanya ada aku dan reid dan beruang-beruang penghuni sofa merah itu, rasanya seperti ingin berdiam diri sampai pagi datang lagi.

Lekas pulang, jika pahatan mimpimu sudah tuntas. Akhir pekan, akan kita nikmati seperti biasa. Dengan sepoci teh, tumpukan komik, senandung Payung Teduh, hangatnya selimut merah, dan rindu yang berdeburan.

Merindumu.

Kamis, 14 November 2013

My Cha



Kamu tahu, mengapa aku tertegun menatap kepingan tutup cangkir teh kesayanganku yang tanpa sengaja kujatuhkan?

Ya, memang, salah satunya karena cangkir itu kubeli di sebuah museum teh yang kukagumi di seberang Laut Cina Selatan. Museum kecil berlantai dua yang nyaman di bawah rimbunan pohon di tengah taman kota negeri itu. Cangkir teh yang kupilih hati-hati hingga menghabiskan waktu nyaris satu jam untuk hanya berdiri terpaku di depan deretan cangkir teh buatan tangan. Aku suka lukisan bunga ungu berpadu merah muda di bagian depannya, dengan warna dasar putih yang mendominasi.

Cangkir teh kesayanganku, yang baru kupakai ketika pindah ke rumah kita. Semacam perayaan kecil.

Tapi, bukan karena susahnya cangkir itu kuperoleh yang membuatku sedih dan memandangi pecahannya yang kau kumpulkan untuk dibuang. Namun, karena aku tak bisa lagi menyeduh teh untukmu dengan cangkir kesayangan. Tak hanya seseduh teh yang ingin kusajikan untukmu, tetapi juga seteguk sejarah perjalananku.

"Tak apa, nanti kita pergi ke sana berdua, ya, beli cangkir yang baru. Kan masih ada cangkir lainnya," ujarmu sambil mendekapku yang kehilangan ekspresi di dapur beranda belakang. 

Kamu tahu betapa aku menikmati aktivitas minum teh, mengumpulkan aneka jenis teh dari mana saja, dan juga menjerang air untuk menyeduh secangkir buatmu. Teh hijau bermadu saat pagi hari sebelum kamu berangkat ke kantor. Teh buah blackcurrat bergula saat sore hari menikmati senja. Teh hitam bercengkeh untuk malammu yang letih. Teh merah bersereh untuk hari-harimu yang bertumpuk jadwal.

Kamu tahu, mengapa aku terkadang memanggilmu "My Cha"? Di Cina, mereka biasa menyebut teh dengan kata "cha", di Jepang dengan "ocha", di India dan Thailand dengan kata "chai". Kamu dan secangkir cha punya satu kesamaan: menghangatkanku. My lovely Cha.

Selasa, 05 November 2013

Letter From Outer Islands


Dear You,

Tahukah engkau, sebelum keputusan untuk ikut bergabung dalam tim ekspedisi pulau-pulau terluar Nusantara itu kuambil, hal apa yang memberati kata "ya" untuk keluar dari bibirku? Adalah kamu dan candu sentuhan ujung jemari kita. Berhari-hari mengarung laut dan samudra, tanpa beroleh detik untuk bertukar tatapan denganmu, mampukah aku?

Ya, biasanya aku tak berat untuk mengambil peluang agar ranselku kembali tersandang, agar dahaga menjejak tanah baru terpuaskan, agar pundi-pundi pengetahuan baru kembali sesak terisi.

Ya, biasanya aku tak berpikir panjang untuk mengambil kesempatan agar bisa bercengkerama dengan pemilik negeri asing, agar bisa khusyuk mendengarkan cerita tentang legenda keberadaan mereka, agar bisa menerbitkan liur menyantap hidangan lezat dari dapur mereka.

Ya, biasanya aku tak berat hati untuk berjibaku mengejar pesawat, kereta, taksi, kapal, perahu, ojek, kano, cidomo, andong, dan apa pun segala moda transportasi lain agar senyum lega mekar karena akhirnya berhasil mencapai titik tujuan.

Ya, biasanya aku tak irit waktu untuk mengejar peluang menangkap pemandangan penuh pesona ke dalam kotak penyimpan gambar elektronik yang kita sebut kamera.

Ya, biasanya perjalanan adalah salah satu petualangan dalam hidupku. Perjalanan adalah caraku mencari jawab segala tanda tanya yang berjubelan dalam bilik kepala. Perjalanan adalah caraku memahami seperti apa rasanya merindukan rumah. Perjalanan adalah caraku mengatup telapak kesyukuran kepada Sang Dharma. Perjalanan adalah caraku menjadi manusia.

Biasanya. Kini tak lagi.

Dear You,

Terasakah olehmu, ketika duduk teralun ombak Laut Cina Selatan, melempar pandangan ke hamparan laut yang biru tua beratap gemendung langit Kepulauan Anambas, berteman cericip camar laut yang tak jenak menangkapi bilis-bilis mungil, sembari paru disegari udara segar dingin beraroma asin, jemariku tak henti mengetuki papan kayu kasar bergurat masa. Mengingatimu. Menyebut namamu dalam diam muka pucat.

Aku merindu.

Rindu riuh tawa kita membicarakan apa saja. Rindu perdebatan kecil kita dalam diskusi tentang kehidupan. Rindu canda jailmu yang tak pernah bosan menggodaku hingga terbit mentari di kedua bela pipiku. Rindu senandung slow rock 80-an yang kau gemari itu. Rindu mata terakotamu yang menatap mata cokelatku dengan penuh kasih. Rindu kecup kecilmu sebelum aku berangkat pergi.

Kerinduan yang kucari tajuknya hingga berpindah destinasi menyusuri Samudra Hindia.

Kala tubuh menggigil dingin dalam balutan mantel hujan hijau tua, diterpa hujan deras yang menemani perjalanan menuju Mentawai, aku mengingatimu. Kala pandangan beradu dengan atap langit malam di atas kepala, yang terus bercucuran deru air langit, aku terkenang akan kita. Kala senyum terbit menyapa mentari pagi yang tak pelit sinar hangat di ujung dermaga Tua Pejat, aku mulai meyakini suatu hal.

Di tepian batas Nusantara, ketika 12 mil lagi adalah laut bebas yang bukan milik tanah air lagi, sebelah tanganku mendekap bagian tubuh yang di kedalamannya tersimpan sebentuk hati berdenyutan. Menyadari bahwa hanya tinggal separuh hati saja yang tersisa di sana.

Separuhnya lagi telah bertukar tempat, dengan milikmu. 

Dear You,

Pada akhir perjalanan, ketika tubuh kembali terguncang dalam sebarang moda transportasi menuju ibu kota, hati menghangat nyaris membara. Antusiasme membumbung lebih dari biasa. Lebih dari keasyikan berkemas barang atau berpindah lokasi.

Pulang menjadi lebih syahdu dari biasanya. Dahulu aku pulang kepada kepergian yang lain. Kini aku pulang kepada satu pemahaman. 

Engkau yang kumau sebagai tempatku mendermaga. Melabuh mimpi dan masa depan. Bersauh rindu dan mungkin juga... cinta....

Would you be, my travelmate? In life, in love, in long journey....

Gazal: Jalad Kata



Hujan di penghujung temaram, deru deras mendadah lidah kelu kata
Lisan bergeming mengunci maksud yang berdesakan menyeruak kata
Napas mematah, sulur pikir bermusafir, harap sua penafsir kata
Duli puan bijak bestari, milikmukah secawan pengisap kata?
Hingga degupku hanya dentang, rinduku gemersak lontar, asing kata
Entah mantra Toraja atau sulur rasa, membuatku tersekat kata
Jemari membukai lembar papirus beraksara farsi, bimbang kata
Kesadaran tiba, yang terbaca jiwa, terindu raga, tak butuh kata


Ehem,

Ini hasil "tantangan" dari pemilik blog http://mairaby.blogspot.com/ Kata Maira, gazal berasal dari Persi-Arab. Gazal merupakan puisi lama yang terdiri atas delapan larik. Tiap larik terdiri atas 20-22 suku kata. Setiap larik mempunyai kata akhir yang sama. Gazal berisi masalah kebatinan yang tinggi. Kata saya, gazal berisi masalah kerinduan saya yang juga tinggi hehe.... 

Nb:
Bagi sang pemilik rinduku, rikues temanya sudah terbayar tunai, ya. Kita memang jarang berucap "kata itu", pertukaran tatapan dan sentuhan jemari menari terkadang lebih dari cukup untuk saling mahfum apa yang berdegupan dalam hati masing-masing. Mengaksara, kepadamu.

Senin, 30 September 2013

Mystically Miss



Rindu yang mistis, menghangatkan tidak hanya hati, tetapi juga ujung-ujung jemari. Rindu yang mengepul dari rajah yang kau toreh di lengan kiriku. Rindu yang aromanya memenuhi rumah hingga ke balik tirai oranye dan serat sofa. Rindu yang berwarna terakota. Cokelat tua kemerahan. Serupa kedua bola matamu.

Kamis, 26 September 2013

(Love) The Process, (Process) The Love



Jatuh cinta pada pelajaran kimia? Uff, uff, never, not once in a million time! But, yeah, akhirnya saya menyadari kalau sesuatu yang kimiatik memang kerap terjadi di sekitar saya. Pagi ini, ketika terbangun dengan tubuh yang hanya seperempat tertutup bed cover marun, kepala sudah bising dengan bunyi letupan unsur yang sedang blub blub dalam tabung-tabung reaksi. Apa yang sedang dimasak di dapur otak saya? Entah, bahkan saya pun tak diberi peluang mengintipnya. Sel abu-abu yang sedang mencampur dan mengolahnya.

Cuping hidung saya tetiba menghirup rembesan aromanya. Manis stroberi, bercampur pahit cokelat hitam, dan sedikit asin mentega leleh. Berpadu dengan bubuk cabai yang membara, dan bebunga hutan yang wangi segar. Dan, ah, aroma embun padang rumput kala pagi ikut menyapa. 

Proses. Segala aroma yang ada di dalamnya mungkin akan terasa janggal jika dihirup satu per satu. Namun, saya yakin akan terasa menyegarkan dada jika semua berpadu menjadi satu aroma. Aroma keyakinan, cinta, dan optimisme. Bahwa setiap bagian proses sejatinya adalah keharusan yang dijalani, agar mimpi tercapai. Mimpi bersama.

Membayangkan ada bergulung-gulung aroma yang sedang bereaksi dalam kepala, membuat saya tersenyum dan mengendusi aroma yang ada di dekat saya. Hemm, wanginya menyamankan jiwa. 

Membuat saya ingin terus menghirupnya. Dalam segala musim dan suasana. Ah, mari bergelung dan tidur kembali.

Senin, 16 September 2013

I Dance You Not?



Saya menari. Ya, dulu. Lampau sekali. Ketika jiwa muda (halah) masih keranjingan memadukan antara gerak dan lagu (gerak dan lagu? so 90's...). Apa rasanya? Lebih magis ketimbang tumpukan novel detektif yang gemar saya lahap sejak kecil. Rasanya seperti waktu seolah diciptakan untuk saya sendiri.

Saya lupa, kapan tepatnya mulai keranjingan menari. Saya cuma ingat momen ketika masih berseragam ala pelaut (seragam khas taman kanak-kanak tempat saya belajar mengeja, tak jauh dari Pelabuhan Lembar di Lombok) dan beberapa teman sekolah mulai mengundang saya untuk menari di acara ulang tahunnya. Saya tak lagi ingat siapa yang mengajari, saya cuma punya selembar barang bukti berupa foto saya dan kakak perempuan saya yang tampak menari gaya modern (modern ala tahun 1980-an lho ya), dengan kostum warna-warni yang seragam. Saya menari tanpa ekspresi dalam foto itu. Mungkin ekspresinya hanya terlihat dalam dunia dalam kepala saya sendiri ketika itu.

Saat seragam saya sudah berganti putih-merah, saya makin merajalela. Menjadi "dancing princess" di sekolah saya. Bersaing dengan kakak-kakak kelas yang menurut saya (ketika itu) tak cukup percaya diri menguasai panggung seni tahunan. Anehnya, saya pun tak ingat apakah saya pernah punya mentor ketika itu. Saya cuma ingat mengajak Ruri (sekilas cerita tentang Ruri bisa dibaca di Harta Karun Mandalika) untuk menggarap koreo untuk pentas perpisahan kelas enam. Saya memilih lagu Sakura yang saat itu sedang populer. 

Kegemaran menari sempat padam ketika saya harus berpindah kota ke Denpasar. Tak punya kesempatan, tak punya panggung. Paling-paling cuma gerakan "tari" senam SKJ yang saya lakukan. Kepindahan ke kota selanjutnya sedikit mencerahkan. Saya menari lagi. Kali ini lebih rumit, saya belajar menari Jawa, lengkap dengan kostum kebaya dan sanggul mini. Sayangnya, cuma sekali, sudah itu luluslah saya, berpindah sekolah lagi. 

Kapan terakhir saya menari? Hemm, seingat saya kelas 3 SLTP. Koreonya saya bikin sendiri bareng beberapa teman. Sebenarnya dalam rangka tugas akhir kelulusan pelajaran kesenian dan keterampilan. Kami harus menggarap sendiri proyek koreo tari kami. Modern dan tradisional, kami racik dala riang. Hasilnya? Kami menjadi yang terbaik. Berhak tampil dalam pentas perpisahan tahunan. 

Dan, itu semua terjadi bertahun lampau. Setelah itu bisa dibilang saya pensiun dari tari-menari. Maka, ketika ada yang bertanya masih bisakah saya menari? Saya gemetar hingga ke ujung kuku. Serius. Rasanya kepengin menekuk kepala dan berlalu dari si penanya. Saya seperti petualang padang prairi yang mencari-cari busur dan panah berburu yang dahulu kala pernah saya kuasai. Saya meraba-raba dalam diri saya, masihkan kedua tangan, kedua kaki, seluruh tubuh saya bisa diajak untuk berpadu manis dengan daftar lagu? 

Yeah, saya memang belum mencoba. Bagaimana bisa jika belum apa-apa sekujur tubuh saya sudah berkeringat dingin super grogi. Masih cukup baikkah (paling tidak lumayanlah) saya ketika ber shake-shake-shake? Atau malah sudah berkategori "memalukan" dalam tarian model apa pun? Memang, saya masih sering memerhatikan style koreo sekarang-sekarang ini. Style yang jauh lebih up beat dan dinamis dibandingkan zaman saya kecil dulu. Saya menyukai beberapa style yang ada. Tanpa pernah mencoba.

Ugh, tidak, tidak, saya tidak pernah trauma sebelumnya, tidak pernah cedera saat berlatih menari, atau mengalami kejadian memalukan saat pentas. Lancar jaya. Jadi karena apa sebenarnya ini?

Hal yang jelas, saya sudah terlanjur berjanji, kepada si penanya, bahwa saya akan menari, lagi, suatu hari, di depannya. Ya, di depannya. Janji yang hingga kini masih berwujud ekspresi beku di wajah saya setiap kali si penanya kembali mengulangi pertanyaannya. Entah dia tahu atau tidak, tak pernah ada lagi yang meminta saya menari kecuali dia.

Baiklah, saya akan melemaskan sendi-sendi. Kembali mencoba. Aduh, bahkan menuliskannya pun membuat jemari saya mendingin dengan cepat. Ouch. Will see lah, will see. 


Senin, 09 September 2013

Hymne ataukah Ode?



Saya sedang merayakan, merayakan sejarah yang dahulu dicatatkan bersama di langit-langit maya, tetapi kini terempas dan terpecah berkongsi-kongsi.

Pada suatu titik, manusia adalah kanibalis yang sangat omnivoris. Tak cukup segala uba rampai yang bisa ia santap lahap-lahap, rasa lapar dalam diri purba manusia membuatnya tak segan menyantap sesuatu yang membuatnya disebut makhluk: ingatan. Sejarah.

Entah hymne entah ode yang akan saya pilih untuk didendangkan. Ode untuk serabut-serabut ingatan milik saya dan orang yang pernah berbagi senyum bersama saya, yang sekejap mata diremas hingga meremah begitu saja. Padahal saya masih menyimpannya rapi, masih mengingatinya dengan takzim. Sebagai bagian dari pembentuk sel-sel kelabu baru selepas kepergian saya. Saya tak mengubahnya, pun tak mengkapitalisasinya. 

Lantas hymne untuk apa? Untuk menemani sedih yang membayangi pelupuk mata. Sedih karena ingatan ini ternyata tak lagi sama, sudah berubah menjadi dua cerita. Ia lupa, cerita hanya bernyawa satu, ketika dicerabut dan dibelah dua, ia akan kehilangan ruh dan membatu. Tak ada lagi cerita, tak ada lagi ingatan, tak ada lagi sejarah.

Hanya ego yang membatu.

Maka, biarkan saya bersenandung lirih. Melantun ode bernada hymne. Melarung pundi-pundi ingatan saya ke samudra. Memulangkannya kepada Neptunus, yang dahulu pernah mengirimkannya kepada saya. 

Tak ada lagi ingatan tentangmu, perempuan. 




Rabu, 04 September 2013

(De)Mentor


Pada suatu ketika, saya pernah terdiam dan memaku fokus kepada salah satu makhluk mitos dalam serial Harry Potter. Dementor. Selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa Dementor adalah makhluk pengisap kebahagiaan seseorang, meninggalkan sang korban dalam keadaan layu dan meratap. Bahagia dan mimpi-mimpi adalah hidangan lezat yang selalu diburu gerombolan hitam yang gentayangan ini.

Saya tergoda untuk berpikir di luar konteks. Apakah Dementor itu memanglah sesosok makhluk mitos, ataukah makhluk mitos itu tampil dalam sejarah manusia sebagai visualisasi ketakutan terdalamnya? Kecenderungan manusia adalah mengais-ngais remah-remah perihal di sekitarnya, setiap kali ia menghadapi problematika. Baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Mungkin itu spontanitas lahiriah. Apalagi jikalau ia merasa bahwa sejatinya permasalahan berakar dari kedalaman jiwanya sendiri.

Inilah yang biasa kita namakan: pelarian.

Ketika tak kuasa lapang memahami bahwa kitalah sang pemicu persoalan, sekumpulan asap berbayang hitam mulai terasa mengepul dari dalam kepala. Asap yang mencekami pikiran, menyelubungi hati, membuat kita tersilap dan menggigil ketakutan. Entah takut menerima kenyataan yang sudah hadir di depan mata, entah takut sang pihak kedua menyadari posisi diri kita, entah takut merasa lemah akibat sekali lagi membuat kesalahan yang sama. Semakin lama, asap hitam itu menghalusinasi pandangan, memetamorfosanya menjadi sosok melayang yang terlihat menjulang di hadapan.

Ketakutan yang maya menghadirkan ketakutan yang terlihat nyata. 

Dalam bahasa latin, "dementor" berasal dari kata kerja "demento" yang bermakna kengerian alias ketakutan. Itulah, mungkin, yang membuat visualisasi sosok dementor tampak separuh nyata separuh maya. Sosok hitam menggantung di atas tanah, seperti ketakutan kita yang terus mengitari akal sehat dan membekap hati.

Dementor tak pernah orang lain, dia adalah diri kita sendiri. Kita sendirilah yang sebetulnya lebih sering mengisap mimpi dan kesempatan yang hadir di depan mata. Karena apa? Bisa jadi karena tak cukup bernyali untuk mengakui dari mana semua prahara berasal. Kita lebih memilih untuk memunculkan dementor-dementor dari dalam kepala kita, menjajarkannya di hadapan dan mulai bersikap seolah dementorlah yang menyesap habis kedamaian dan kebahagiaan kita. Kita bahkan tanpa sadar menyeret dementor itu ke depan mata sang pihak kedua, kemudian mulai membacakan daftar kesalahan sang dementor sebagai tertuduh utama prahara antara kita dengan sang pihak kedua.

Lengkap sudahlah ritual kita sebagai "necromancer", peniup napas kehidupan bagi sang dementor. Tanpa kita sadar, secabik jiwa kita ikut menjadi korban. Jalan terang di hadapan memburam. Mimpi-mimpi yang sebelumnya mulai terang, meredup.

Kita menggelapi sendiri jalan takdir kita yang sudah dibuka semesta.

Kita pasti ingat, Harry Potter dilatih membuat "patronus" untuk "memerangi" para dementor. Apakah berupa senjata fisik? Sekawanan prajurit? Tidak. Berupa ingatan paling bercahaya dalam diri kita. Apalagi yang bisa mengalahkan stigma selain kesadaran?

Menciptakan dementor hanya akan membuat kita lelah. Lelah abai pada masalah utama, lelah berjibaku dengan pengisap akan sehat yang terlanjur liar membayangi pelupuk mata. Lebih baik bernyali untuk memerangi diri sendiri, dibandingkan sibuk menebah-nebah tombak ke tubuh transparan sang dementor.

Well, am I your dementor? 


Jumat, 30 Agustus 2013

The (Uncalled) Love at The First Sight


Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya cinta pada pandangan pertama?” Biarkan saya menjadi martir dan berdiri di barisan terdepan. Kalau ada yang bertanya, “Siapakah yang tak percaya kisah cinta yang berlanjut dari kehidupan sebelumnya?” Maaf, biarkan kali ini saya tertinggal di barisan paling belakang.

Apakah itu berarti saya percaya hal yang setengah mitos setengah dongeng itu? Hemm, sebut saja begitu.

Beberapa hari terakhir, ketika bersantai di rumah melepas penat setelah seharian berjibaku dengan deretan kata, saya bertanya-tanya, apa saja sebenarnya penyebab seorang perempuan urban jatuh cinta. Apakah masih dengan deretan alasan lama, seperti cinta pada pandangan pertama, karena terbiasa, terpesona pada blink-blik materi, atau luluh akibat kecocokan yang sekembar kaus couple?

Sembari duduk di beranda belakang rumah, sambil menyesap secangkir teh hitam berpadu beberapa butir cengkeh, saya menelusuri isi kepala saya sendiri. Lantas, cinta seperti apa yang saya inginkan?Aroma teh hangat yang mengepul kasat mata menyapa cuping hidung saya. Hangatnya manis sekaligus legit. Seperti paduan udara pegunungan dan hamparan pepohonan rempah yang tersapa sinar matahari. Seperti aroma rumah jahe dalam dongeng kanak-kanak. Aroma yang memijati sel-sel kelabu saya perlahan, memberinya kesempatan untuk merelaksasi diri dan membisikkan pendapatnya.

Ketika mereka sibuk membuat daftar panjang kriteria, saya sibuk bertanya apa sebenarnya kriteria orang yang kepadanya saya bisa memercayakan tidak hanya separuh hati, tetapi juga mimpi dan obsesi, bahkan kotak-kotak berisi masa lalu yang menumpuk dalam nakas terkunci di relung terdalam hati.

Saya hanya ingin dia yang berlaku layaknya teh hitam dari gunung purba Dempo, yang pahitnya tetap syahdu saya sesap karena itulah bagian dari kenyataan hidup humani, yang manakala pahitnya hidup mengetuk pintu, dia akan tetap menggenggam jemari saya dan membuka pintu bersama-sama. Seberapa pun kerasnya kita mencoba untuk bersikap manis dan hanya memilih yang manis-manis, pahit akan tetap menyapa. Seperti sebatang cokelat yang tetap kita kunyah berkardus-kardus sepanjang hidup kita, meskipun rasa pahitnya tak pernah lenyap.

Saya hanya ingin dia yang bersikap layaknya madu dari pohon kapuk randu, yang manisnya tertakar dengan seimbang sehingga tak bosan rasanya untuk terus saya cecap. Manis yang tak membuat saya tersilap dan silau sesaat, tetapi menjadi disusupi energi baru yang meronai kedua pipi. Manis yang membuat saya menyadari betapa semesta sungguh murah hati dengan berkat dan kasihnya.

Saya hanya ingin dia yang bertabiat layaknya rerempah cengkeh dari pegunungan barat Jawa yang legit aristokrat, yang mengajari saya untuk taktis bergerak di dalam labirin remah-remah masalah dan problematika, tanpa kehilangan pikiran jernih dan hangat hati. Menyadarkan betapa hidup tak sekadar pahit-manis, tetapi juga bisa diupayakan untuk menjadi lebih elegan dan mendebarkan, jikalau segala sesuatunya dijalani dengan keyakinan dan otak cemerlang.

Saya hanya ingin dia yang tampil di depan saya layaknya jerangan air segar yang panas melarutkan debur jantung, setiap kali kuncup-kuncup rindu mekar tersapa musim semi saat jemari bertaut dan kecupan bersambut degup. Degup yang iramanya mampu mencairkan padang es di ujung kutub dunia.

Saya hanya ingin dia yang seperti racikan teh yang saya sesap, yang apa pun paduannya, tetap terasa hangat dan nyaman dengan sederhana.

Saya hanya ingin seseorang yang berdiri di sisi saya dengan apa adanya dia, membuat saya pun sanggup menemaninya dengan apa adanya saya.

Saya hanya ingin "dia" yang menatap mata cokelat saya lekat-lekat, menyampaikan pesan tanpa aksara.

Jika semua itu bisa dikatakan kriteria, well itulah kriteria kekasih idaman saya. Bagaimana cara saya bertemu dengannya? Ala klasik atau terkini? Masihkah jadi soal?

Rabu, 21 Agustus 2013

Teh Cengkeh Kapulaga

Malam ini, rinduku pasti berdebaran. Layak disyahdui dengan secangkir teh rempah. Satu bag teh hitam Inggris Raya, diseduh di dalam gelas keramik putih berhiaskan bunga ungu kesayanganku, bersama air mineral segar yang 90% mendidih, yang mengucuri racikan beberapa butir cengkeh dan sebutir kapulaga, berbaur dengan dua sendok teh gula pasir. 

Menghirupnya hangat-hangat, seperti menghadirkan teman bagi sang rindu yang bertajuk namamu. Kurasa kau pun begitu. Bagi kita, rindu itu tak perlu dinamai. Anonim saja.

Minggu, 04 Agustus 2013

Youngster Lesbian



Proses adalah jati diri setiap manusia? Tentu. Tak ada proses yang salah? Bisa jadi. Lantas? Apa masalahnya? Seberapa yakinkah engkau bahwa yang sedang kau jalani kini layak disebut "proses"?

Beberapa hari lalu, di tengah kesibukan kantor, saya melongok akun Facebook Rafilus Olenka milik saya. Saat scrolling cepat di beranda akun, mata saya menangkap nama sebuah grup lesbian yang diikuti oleh salah seorang teman Facebook saya. Jangan tanya apa namanya, saya sendiri tak cukup bisa mengejanya dengan baik.

Biasanya saya malas ber-kaypoh-ria menelusuri hal semacam ini, hari itu rasa ingin tahu saya mendadak tak mau kalah saing dengan Sherlock Holmes. Jemari saya mengklik akun grup itu, tanpa ada harapan apa pun tentang apa yang akan saya temukan di dalamnya.

No, saya bukan antilesbian ABG, saya juga pernah berada dalam golongan itu. Tapi, ya bagaimana ya, tetap saja saya cukup tercengang mendapati mayoritas member (dari posting-an yang saya baca) di grup itu berkategori remaja. Mereka asyik saja mem-posting usia, label, nomor telepon, bahkan nama sekolah. Apa isi postingan mereka? 90% mencari jodoh, sisanya menjadikan beranda grup itu semacam tembok ratapan. 

Saya cuma jadi menarik memori lama. Apa yang terjadi pada diri saya ketika berusia seperti kebanyakan member grup itu, usia sekolah. Ketika SMA saya mulai bertanya-tanya tentang kecenderungan seksualitas saya. Tanda tanya yang sulit dicarikan jawaban karena keterbatasan sarana beroleh informasi. Internet belum jamak, nanya ke orang lain apalagi. Sementara saya mulai dikitari *uhuk* fans dari khalayak adik-adik kelas saya, sembari memantapan kedekatan pada seorang kakak kelas tiga yang saat itu terlihat cantik memesona di mata saya.

Sakit kepala karena tak tahu harus bertanya ke mana? Tentu. Apalagi yang bisa saya lakukan selain berdiam dan menikmati gejolak di dada. Di lain sisi, saya tetap menjalani keasyikan aktivitas sekolah dan kegiatan berlatih pencak silat. Kalau saat itu sudah ada Facebook, apakah saya akan ikut "mengiklankan" diri di grup semacam itu? Hemm, saya rasa tidak.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah para "youngsters" itu cukup memanfaatkan ketersediaan informasi yang melimpah sekarang ini dengan cukup baik? Ataukah terlupa dan memilih untuk memanfaatkan teknologi demi mempermulus aktivitas "girlfriend's hunting"? Pilih mana, memahami kecenderungan seksualitas diri dulu, baru mencari pasangan, atau mencari pasangan dulu baru berpikir berdasarkan pengalaman?

Yah, paling tidak sih, tak ada salahnya mencari informasi mendasar terlebih dahulu, tentang apa itu lesbian, sekian kemungkinan mengapa seorang menjadi lesbian, bahkan pengalaman lesbian lainnya. Toh semua itu meluap di dunia maya. Tinggal cari saja, kalau berniat. Fase itu telat saya lalui, baru ketika kuliah. Ketika sudah "terlanjur" tinggal bareng partner dan merasai remah-remah cinta ala lesbian. Maklum, baru ketika kuliah keleluasaan akses teknologi dan informasi saya dapatkan. Nasib tinggal di desa pedalaman.

Dalam salah satu posting-an member grup itu, saya membaca "iklan" seorang butch yang masih duduk di bangku SMA. Dengan bangga ia menceritakan seberapa butch ia dan kriteria femme yang sedang di-hunting-nya. Entah mengapa, ia bahkan mencantumkan nama sekolahnya. Sekolah swasta yang ada di... kota asal saya! Tak berpikir panjangkah mereka? Atau memang tak merasa hal itu perlu dipikir panjang?

Memang, proses setiap orang berbeda, yang sama adalah kenyataan bahwa setiap orang punya tanggung jawab yang sama kepada dirinya sendiri. Tanggung jawab untuk sepenuhnya memilihkan proses hidup yang lebih baik bagi dirinya, tanggung jawab untuk memberikan pemahaman bagi jiwa dan pikirannya, tanggung jawab untuk menghindarkan diri sendiri dari kemungkinan negatif yang bisa membakar energi dan potensi diri.

Saya masih ingat betapa inginnya saya ketika masih remaja, untuk mendapatkan tempat bertanya tentang adukan perasaan dan pertanyaan yang saat itu mulai menggejolak. Saya berandai-adai ada kakak kelas atau orang dewasa atau teman sebaya yang bisa berbagi cerita tentang hal itu. Tak saya temukan, bahkan sampai duduk di bangku kuliah. Jujur, saya iri, dengan lesbian muda sekarang ini, yang bisa bebas browsing mencari tahu tentang dunia lesbian, bahkan menemukan teman sesama lesbian yang bisa diajak bertukar pendapat. Keleluasaan yang dalam kacamata saya tentu bisa membuat mereka menjadi lesbian yang sepenuhnya yakin tentang identitasnya, tahu mau berbuat apa, dan mantap menyusun mimpi-mimpi masa depannya sedari muda.

Well, yeah, itu semua memang (lagi-lagi) pilihan. Mau jadi lesbian ala kadarnya yang cukup puas dengan "merasa diri" lesbian dan buru-buru menenggelamkan diri dalam aktivitas hunting. Atau mau repot-repot menanamkan pengetahuan dan keyakinan yang mencukupi bagi dirinya sendiri, sembari meningkatkan kualitas diri agar tangguh menghadapi riuhnya dunia nyata di luar sana. Tentu, sambil membuka hati kalau-kalau ada dia di sebelah sana yang mampu mendeburkan dada.

Kalau memang yang menjadi pilihan adalah sibuk memenuhi beranda grup-grup lesbian dengan iklan mencari jodoh, sibuk menarget para straight yang ada di sekitar, sibuk memaki nasib karena menyalibnya dengan label "L", atau sibuk memenuhi akun social media dengan rintihan-ratapan-doa menyayat hati tentang betapa sepinya hidup tanpa kekasih hati, yah silakan saja.

Asal jangan saat usia sudah memasuki kepala tiga, baru menyesali diri dan buru-buru mengejar ketertinggalan. Ke mana saja selama ini?

Senin, 29 Juli 2013

Count


Saya dan angka-angka sudah lama seperti dua kutub magnit, saling menegasi. Menghitung bukanlah pekerjaan yang akan saya tempatkan di daftar paling atas hal-paling-menyenangkan-di-muka-bumi. Apa lacur, menghitung akhirnya kini menjadi candu baru. 

Menghitung kapan engkau akan pulang lagi, ke rumah, kita. Menghitung kapan lagi ada dua nada suara yang meriuhi setiap sudutnya. 

Kamis, 25 Juli 2013

Karrume Kronikel



Sebut saja ini dongeng, atau legenda, bahkan fiksi fantasi. Apa saja, tak jadi soal, selama kau membacanya dengan membiarkan sulur-sulur sihir mengalir dari ujung jemarimu. Ya, sihir, sihirmu. Kau tak yakin punya? Ah, tampaknya kau terlupa bahwa setiap humani punya bilik kecil di dalam hatinya, dengan rak-rak mahoni yang dipenuh berkantung serbuk sihir berbilang warna. Pejamkan mata, bayangkan mata nanar-penasaran-takjub milikmu sedang sibuk menatapi kantung-kantung itu. Pilih satu, mana saja yang kau suka.

Sudah? Benamkan jemarimu ke dalamnya, barulah kau gunakan untuk meneruskan putaran roda tetikus. 

Scroll down.

Ini kisah penuh karrume kuno, tentang Sira dan Sayl. Pada suatu masa, ketika Toba-Meru-Krakatau-Dempo-Tambora masih menjadi tiang-tiang peyangga Atlantis purba. Ketika matahari masih tampak bulat terang jelas di bentangan langit yang belum lagi mengenal kelabu polutan. Ketika sekat-sekat samudra belum tercipta, ketika satu dunia adalah hamparan negeri yang menyatu.

Sira, adalah seorang gadis pemagi dari tanah tinggi di Negeri Utara. Bangsamu kini menyebut pemagi dengan kata “penyihir”, meski tak banyak lagi, mungkin, yang memercayai. Dari ujung jemari miliknya, mengalir sihir penyaman suasana. Ia bisa menyejuki satu ruangan yang dipenuhi aura ego yang merah-panas-meletup. Ia bisa memadamkan bara amarah yang membakar bola mata seorang pengangkara. Bahasa Tanah Barat menyebutnya “comforter”. Ia gemar duduk di tepian sungai Saddang, menikmati suara gemericik air yang selalu terburu-buru mencari muara akhir. Membiarkan rambut panjangnya yang keperakan berkibaran diembus angin Negeri Utara yang dingin sejuk. 

Sayl? Gadis bermata cokelat itu seorang petarung dari Kerajaan Maja. Kedua telapak tangannya digurati memori tentang latihan demi latihan yang menempanya sejak kanak-kanak. Sorotnya dingin, gerahamnya lebih sering mengatup keras. Berbaris pasukan menjadi bayangannya kini. Sesekali, ia akan duduk di atas kuda cokelat kemerahan miliknya, bergeming memandangi pasukannya berdencingan berlatih memanah dan menombak. Membiarkan ujung ikat kepalanya berkibaran diembus angin panas Tanah Timur. 

Sama seperti tidak pernah ada humani yang tahu, ke arah mana dandelion kecil berpulang akhir, tak ada yang tahu juga bagaimana waktu menyusun anagram misterinya hingga entah Sayl entah Sira sejatinya tak pernah tahu bahwa pada suatu masa mereka akan bertemu di tengah negeri. Mulanya seteru, kemudian sekutu.

Bagaimana bisa? Tanyanmu, barangkali. Ya, awalnya mereka layaknya purnama dan matahari tengah hari, selalu bersilang jalan. Penguasa separuh waktu dunia. Sampai pada suatu ketika.... (bersambung)

Selasa, 23 Juli 2013

Teaology



Jika ditanya, setelah Tuhan, buku, kekasih hati, dan perjalanan, apa yang sanggup membuat saya abai dengan dunia beserta isinya? Tidak berani menebak? Bukan, bukan outfit terbaru, bukan juga kulineri super lezat. Teh. Teh? Ya, teh.

Pernahkah kau mendengar cerita tentang “revolusi teh” yang dilancarkan oleh para perempuan Inggris berzaman lampau? Tidak? Maukah sekadar mengingati lagi sejarah kecil itu? Saya janji, tak akan lama.

Kala itu, para lelaki Inggris sedang dimabuk aroma pahit membius yang dari biji-bijian yang baru saja mereka bawa dari Asia Barat. Kohwah. Kita mengenalnya dengan nama: kopi. Demam kopi menjangkiti hampir semua lelaki Inggris, terutama para bangsawan dan politisi negeri. Kedai kopi mulai bertaburan, persis seperti kedai kopi lucu yang sekarang pun familier menjadi pemandangan mata kita.

Kopi menjadi sumber adiksi. Para suami tak pulang, para lelaki enggan beranjak dari gelas demi gelas di meja kedai yang berisi seduhan pekat kopi Arab. Entah berapa banyak strategi, kesepakatan, intrik, bahkan skandal yang digagas dari meja-meja itu.

Makmurkah Inggris karenanya? Sebaliknya. Revolusi mulai memanas, dari dapur-dapur dan ruang rias para duches. Tuntutannya cuma satu: tutup semua kedai kopi! Kedai kopi mencuri para lelaki mereka. Mereka pun bersiasat, merancang manifesto dan strategi operasi lapangan. Hasilnya?

Teh-teh diseduh, acara minum teh sore resmi diluncurkan sebagai strategi taktis membawa lelaki mereka kembali ke dalam pelukan keluarga.Berhasilkah? Kedai-kedai kopi ditutup. Tamat riwayatnya tradisi minum kopi yang baru seumur jagung itu. Sebagai gantinya, setiap rumah punya tradisi baru, minum teh sore ditemani kue-kue dan penganan ringan.

Sejak itu, acara minum teh menjadi ikon Inggris. Sama tersohornya dengan Oasis (sorry, saya tidak mencontohkan One Direction, bagi saya pemusik nomor wahid Inggris tetap Oasis #sikap) dan Platform 9 ¾.

Teh bagi saya seperti kekasih yang terkadang tak selalu ada di sisian. Teh pekat bergamot menemani malam-malam panjang penuh kejaran deadline. Teh rempah merelaksasi pikiran setelah hari yang penuh letih. Teh hijau membuka pagi dengan syahdu dan damai. Teh buah dingin menerbitkan senyum cerah setelah berpanas diteriki matahari. Teh susu mendatangkan lelap kala mata tak mau juga memejam. Teh cokelat hangat mengalirkan ide ketika jemari tak menemukan jalan untuk membuka pekerjaan. Ah, selalu ada racikan teh yang bisa diseduh untuk menemani setiap suasana.

Ya, saya termasuk penyeduh super egois, saya biasanya hanya menikmati sendiri semua racikan saya. Enggan berbagi. Biasanya, jikalau ada teman yang datang, saya hanya menyeduh pilihan standar saja. Kini? Yang pasti, racikan teh saya sudah menemukan penyesap barunya. Penyesap yang selalu menerima sodoran cangkir hangat mengepul yang saya hulurkan. Tanpa peduli apa isinya dan apa rasanya. Would you be my teamate, then, Penyesap? 




Senin, 22 Juli 2013

(Will) Home to You




Selama ini, rumah adalah sudut-sudut dunia yang selama ini tersapa langkah dan ranselku. Rumah adalah pantai berparas senja tempatku duduk diam menakar mimpi. Rumah adalah teras-teras gedung kuno yang memori panca indranya gemar kuirupi diam-diam. Rumah adalah segala moda transportasi tempatku merentang usia.

Mengetahui bahwa kini rumah adalah engkau, tak teraksarakan.

Selasa, 16 Juli 2013

Peluk



Sejak tadi pintu rumah kubuka, menanti kiranya ada dandelion sekuntum saja yang singgah terbawa angin sampai ke teras Rumah Hobbit.
Untuk apa? Menitipkan sepercik mantra untuk dibawanya pergi, menujumu.
Nah, sudah.
Buka telapak tanganmu, biarkan dandelion pengelana itu hinggap di atasmu.
Tunggu, jangan kau tiupi ia, jangan pula kau tepiskan.
Pejamkan kedua matamu, Silver, ucapkan mantra ini empat kali:

sebelas menuju genap satu, malaikat beruang kecil meronta pulang
bergegas kau pejamkan mata dahulu, ingati hangat yang selalu mendekapmu berulang

Terasakah? Hangat dekapan yang dihantarkan dandelion kecil dalam kantung maginya?
Dekapan yang katamu membuatmu seolah tergravitasi ke arahku,
membuatku sentiasa berjaga dengan meneguhkan bahu dan pijakan.
Dekapan yang akan selalu menyambutmu setiap kali pulang, ke rumah, kita.

Minggu, 14 Juli 2013

Men(unggu)anti


Membuka pagi dengan jemari yang mengetuki tuts hitam seinterval debur jantung. Menakar. Terkadang, kenyataan yang hadir apa adanya di depan mata membuat manusia memanjangkan pikiran, mengumpulkan sekian kemungkinan dan fakta tambahan, menimbang abcd opsi. Kemudian menyeberang jalan saat lampu hijau sudah mengisyarati. 

Saya pernah nyaris menikmati waktu di Saigon City dengan hanya bergeming kaku di samping lampu lalu lintas di sebuah perempatan dekat Benh Than Market. Traffic Saigon yang tersohor sadis, dengan tingkat kesadaran lalu lintas yang sangat rendah, membuat tingkat kecelakaan di kota ini sangat tinggi, terutama bagi pejalan kaki dan penyeberang jalan. Menyeberang jalan tak pernah jadi favorit saya. Sama seperti roller coaster yang menjadi musuh bebuyutan saya. 

Dan, bergeminglah saya di sebuah perempatan itu. Menghitung nyali, mempertaruhkan keberanian yang hampir susut dalam darah. Menyeberang atau tidak. Melanjutkan perjalanan atau tidak. Opsi terironisnya, pulang kembali ke Jakarta atau tidak. Mencengangkan melihat perkara seberang-menyeberang saja punya dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup alam raya *halah.

Jika saya tidak menyeberang, saya tidak akan bisa kembali ke guest house dan mengambil backpack 60 liter saya yang tersimpan di sana. Tidak mengambil backpack artinya saya tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tidak bisa melanjutkan perjalanan artinya saya tidak akan bisa pulang kembali ke balik selimut hangat merah marun di kamar tidur saya di selatan Jakarta. 

Tidak menyeberang artinya saya berkesempatan menjadi patung monumen di negeri Paman Ho ini. Monumen berbentuk seorang gadis mungil berwajah khawatir yang terus berdiri bersisian bersama lampu lalu lintas selama bermasa-masa.

Menyeberangkah saya akhirnya? Kamu pikir hantu penasaran bisa mengetiki huruf di blog ini? Yap, saya menyeberang. Sendiri? Tidak. Setelah menunggu sekian lama, ada serombongan manusia pemilik kota bercampur traveler berbagai bangsa yang menjejali trotoar di samping saya. menenggelamkan diri ke dalam arus manusia itu menjadi pilihan saya. Di dalam kerumunan pasukan berani mati itu, sampailah saya dengan selamat ke seberang jalan. Kurang dari 12 jam kemudian, saya sudah menyusup ke balik selimut.

Dan, di sinilah saya, sekarang, berdiri di sebuah persimpangan jalan. Bersisian dengan lampu lalu lintas triwarna. Membiarkan mata cokelat saya melahap deru lalu-lalang aktivitas semesta. Tak peduli biarpun entah sudah berapa kali lampu hijau mempersilakan saya untuk melangkah, Tak tergoda meskipun satu demi satu pejalan datang menawarkan diri mengantar saya ke seberang.

Bukan, bukan, saya tidak sedang membeku panik karena tidak berani menyeberang kali ini. Saya hanya sedang... menanti. Seseorang yang tempo hari saya jumpai di sebuah bazaar perayaan yang riuh menjual aneka hasil bumi dan penganan yang menerbitkan selera. Saya sedang merapikan barang dagangan saya, toples-toples kaca berisi teh dari segenap penjuru samudra dan benua, sembari melayani beberapa pembeli yang menarik minat saya.

Dia datang tanpa ada isyarat. Tanpa embus angin pancaroba atau susupan mimpi-mimpi panjang. Datang dengan segulung lontara yang entah berasal dari masa purba yang mana. Kemudian berlalu sampai kerling mata saya pun tak sanggup menjangkau. Lontara berisi sederet kalimat yang membuat hati saya termantrai dan mengamini.

Ini aku, akhirnya, datang dari masa yang dahulu. Masa ketika ujung jemariku dipenuhi magi tana utara. Masa ketika hari-hari terkadang kulalui sembari melihatmu mengatur pasukan dengan menawan. Tunggu aku, kita akan menyeberang dan pulang ke rumah. Rumah kita

"Selamat datang, kembali," gumam saya dalam hati. Sambil mengirup dalam-dalam sisa aroma hutan hujan bercampur manis rum berusia lampau yang tersisa di dalam kedai teh saya. Sisa aroma yang tadi dibawa sang pembawa lontara.

Ya, saya sedang menunggunya datang. Menunggunya menghampiri jemari saya, kemudian menggenggam dan membawa saya ke seberang. Saya hanya tahu satu: dia akan datang. Pasti. Jikalau bermasa berzaman ini saja saya sanggup menantinya, mengapa tidak jika hitungannya hanya bulan-matahari bumi?

Minggu, 30 Juni 2013

Silver Rainbow



Pelangimu selalu itu-itu saja? Tipikal me-ji-ku-hi-bi-ni-u? Ah, sayang sekali. Tunggu, mungkin sesekali kau perlu mengganti tinta paradigma dalam dirimu. Siapa tahu, kejutan mendebarkan akan menyapamu. dalam bentuk pelangi dengan gradasi atau pilihan warna yang lain, misalnya.

Seperti pelangiku, yang tetiba dihantar semesta dalam warna yang mendegupkan jantung. Silver.

Selasa, 25 Juni 2013

Lain Rumah, Lain Cerita, Jemari yang Sama

Hai. Its me. Again. Yeah, saya pelabil sejati untuk urusan per-blog-an. Entah terlupa kata kunci, entah malas membacai lagi apa yang saya tulis pada momen-momen "ajaib", entah sel abu-abu dalam kepala saya yang terus mengetuki pintu minta dicarikan rumah baru. Aye, captain, lets build a new one, then.

Ada berkantung-kantung cerita segar dalam kepala, yang terkadang ingin ditebar ke sekitaran bagai angin yang meniupi kelopak-kelopak bunga hinga tersebar ke delapan penjuru mata angin. No, no, jangan berharap segala cerita akan menyematkan label hap-py-en-ding di akhir ceritanya. Saya tak pandai merangkai akhir semanis gula-gula. Saya hanya bisa memindahkan drama dalam kepala, yang citarasanya seperti isi toples rempah-rempah yang berderet di kabin dapur. Pahit, asam, manis, getir, pedas, asin. Itulah hidup, bukan?

Ah, sudahlah, biarkan saya berdetak, agar kamu, kamu, dan kamu yang ada di ujung sanaaa akan tersedak saat mampir kemari.

Senin, 24 Juni 2013

TITAH MERAH

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja seluruh penduduk Negeri Naga mengular rapi dari ujung Gerbang Kota hingga batas karpet merah tanda pintu masuk istana dimulakan. Jika saja ada yang meneropong dari angkasa, akan tampaklah bentuk serupa kue donat spiral yang biasa dijajakan hangat-hangat di Pasar Kota. Apalagi, kontur tanah kota ini memang layaknya tumpeng nasi kuning saja, dengan istana bercat putih silau di puncaknya. Puncak negeri, dan puncak keriuhan hari ini, sepertinya.

“Salah! Bukan ikan bakar semacam ini yang kumau. Sudah berapa lama kau menjadi koki istana??!!”
“Ampun, Ratu, hamba sudah berusaha memasak hidangan persis seperti yang Ratu inginkan. Ikan Bilih segar yang langsung dibakar di tepi sungai. Lengkap dengan sambal cabe mangga muda dan sedikit saus kesemek tua seperti permintaan Paduka.”
“Lalu mengapa ikan-ikan ini banyak yang gosong!! Tak sayangkah kau dengan nyawamu?!”
“Aa..ammpunn, Ratu, resep semacam ini memang belum pernah hamba dengar sebelumnya. Ikan bilih memang tak ada yang besar bentuknya, semua tak lebih dari bayi-bayi gurami. Itulah mengapa ikan-ikan mungil tersebut cepat sekali gosong bila dibakar.”
“Jadi maksudmu aku meminta sesuatu yang mustahil, begitu?! Pengawaaall…eksekusi!”
“Ampun, Paduka, aa..ammmpunn…!!!”
“Berikutnya!”

Wah wah wah.. Ada apa sebenarnya, mengapa kesalahan sekecil itu bisa menerbitkan murka Ratu? Tapi, memang tak pernah ada yang membakar ikan bilih sebelumnya. Ikan sekecil itu tak mungkin lezat dibakar. Aneh. Mengapa Ratu bertitah sesulit itu.

“Mana minuman yang kuinginkan itu?!”
“Beribu maaf, Gusti Ratu, waktu diberikan kepada hamba hanya dua hari. Sungguh mustahil bahtera hamba dapat bersandar di Hindia Jauh yang berhorison-horison jauhnya dalam waktu dua hari, meski selaju-lajunya. Dengan segala penyesalan hamba tak mampu menghadirkan serbuk coklat untuk minuman kegemaran Paduka itu. Hamba mohon pengertian Gusti.”
“Hemm.. . Eksekusi!!”
“Tapi..tapi..Ratu…tapi.. .”
“Berikutnya!”

Kabar tentang telah dieksekusinya dua orang petinggi menyebar dengan cepat bagai tarian gelombang saat pertandingan lempar bola tahunan. Bisik-bisik pun perlahan menjadi gumaman lebah yang berubah drastic menjadi aneka macam kata saat kabar itu sampai di kerumunan tepat di Pasar Kota. 

Tak ada yang menyangka, Ratu Adil mereka, yang meski belia namun terkenal bijak dan luhur pekerti, mampu berbuat seperti itu. Memberi titah yang mustahil, dan segera murka saat kemustahilan itu tak juga berwujud nyata. Mereka mulai menerka-nerka, apa gerangan yang terjadi. Ada yang berpikir Ratu sedang menguji-coba kesetiaan mereka. Ada pula yang beranggapan Ratu tengah berada dalam pengaruh Perdana Mentri yang ingin merebut tahta. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Ratu berbuat aneh karena guna-guna dan teluh Negeri Dewa yang memang sudah lama iri dengan kesuburan Negeri Naga. 

Tiap opini punya gerombolan pengikutnya masing-masing. Dan ironisnya, adu argumen itu semakin lama semakin berkembang menjadi adu lempar sayur, buah, dan berbagai macam barang dagangan di pasar itu. Astaga. 

“Mengapa seragam para pengawal hari ini terlihat lusuh dan tak bergaya?! Sudah malaskah para petugas penatu di belakang sana! Konspirasi apa ini?!”
“Mohon maaf, Ratu, tapi tak ada yang berubah dari seragam-seragam itu. Sama bersih dan bersinarnya seperti seragam mereka hari-hari sebelumnya. Bahkan seragam hari ini baru saja mereka dapat tadi malam sebagai ganti seragam lama yang sudah berusia satu bulan.”
“Oh, jadi lagi-lagi ada yang menganggap aku tak waras hari ini?! Begitu maksudmu, Kepala Rumah Tangga Istana?!!”
“Bu..bukan, Ratu yang jelita. Hamba hanya mengungkapkan semua apa adanya tanpa maksud merendahkan Paduka.”
“Eksekusi!”

Dan senyaplah seluruh negeri sehening-heningnya. Tak ada yang menyangka Ratu akan sekeji itu tanpa sebab yang jelas.

“Dan suruh semua penduduk negeri kembali ke rumahnya masing-masing. Tak ada yang boleh berada di luar rumah hari ini kecuali para pengawal!”

Maka dengan cepat seluruh penduduk negeri berebutan untuk secepat-cepatnya sampai di rumah masing-masing. Menutup dan mengunci semua pintu-jendela rapat-rapat, dan segera berkumpul di tengah rumah untuk berdoa bersama seluruh anggota keluarga. Petaka.

Sungguh sebuah tebaran kengerian yang mencekam selama berabad-abad negeri ini berdiri. Sudah menjadi tradisi, memang, jika pemimpin negeri dipilih dari keturunan perempuan alias putrid mahkota. Dan sudah menjadi kebiasaan pula bila sang ratu akan menerima tahtanya sebelum masa dewasanya bermula. Tak pernah ada masalah sebelumnya. Bergenarasi-generasi ratu menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Tapi..memang ada sedikit perbedaan. Sang ratu kali ini menjalani masa kecil dan menjelang pentahbisan keratuannya tanpa kedua orang tua. Mereka mengalami musibah saat perburuan tahunan.

“Huff..apa yang terjadi padaku beberapa hari ini. Mengapa aku cepat sekali marah dan mengalami perubahan suasana hati yang begitu cepat. Mengapa pula aku member mereka titah semustahil itu. Dan, mengapa pula sekujur tubuhku terasa pegal-pegal tanpa alasan. Apa sebenarnya yang terjadi.”

Lalu, tiba-tiba saja sang Ratu terdiam tercekat dari monolog curahan hatinya, dan bergegas melucuti pakaian kebesarannya. Ia terhenyak saat mendapati sebentuk noda merah dalam pakaian terdalamnya. Darah. Bingung dan takut. Apakah ia benar sedang diguna-guna? Mengapa tubuhnya mengeluarkan darah semacam ini?

Dan, itulah kali pertama ia merindukan orangtuanya, berharap Ibundanya masih ada agar ia bisa bertanya tanpa malu-malu tentang hal baru yang dialaminya kali ini. Ia lupa, bahwa usianya sudah mencukupi untuk menjadi seorang perempuan.



*dibuat saat PMS menyerang dan hasrat pingin “ngomel-ngome ga jelas" mulai tak tertahankan :p 

CARDAMON


Apa rasanya? Seperti teh susu yang salah takaran. Seperti teh herbal yang terlalu banyak cardamon. Nikmat, tapi kurang. Sangat.
***

“Kacamata baru, Lu?”
“Ga, cuma ganti lensa saja.”
“Sengaja pilih yang gelap begitu, ya? Jadi kelihatan aneh, kayak pakai sunglass di dalam ruangan.”
“Iya, sengaja. Lagi kepingin saja.”
“Tapi, keren kok, Lu. Semoga pelanggan ga salah kira kamu tukang pijit ya haha.. .”
“Hehe.. .”

Aku sudah lupa, kapan pertama kali mengenalnya. Sepertinya jauh sebelum kami akhirnya bekerja di tempat yang sama. Aku penyeduh, Al penyaji. Aku pembaca, Al perekam. Setiap hari ia sibuk melayani para pengunjung dan pelanggan tetap kafe ini. Dengan senyumnya yang anggun dan tarikan wajah khas negeri timur. Ia tak pernah terlihat terburu-buru. Tenang saja menyaji satu demi satu, hingga entah porsi ke berapa.Barangkali, banyaknya pengunjung yang datang bukan sekadar ingin menikmati aneka kopi dan teh yang menjadi sajian khas kafe ini, melainkan juga ingin curi-curi menikmati indahnya. Al. Sama sepertiku.

“Lu, ada pengunjung yang sedang muram dan lesu harinya. Ia ingin segelas teh yang bisa membuatnya lebih relaks dan sedikit bersemangat kembali.”
“Hemm, oke. Akan kubuatkan. Sebentar.”

Inilah salah satu hal yang kusuka dari bekerja di kafe ini. Tak perlu menghapal resep dan rutin tertentu. Setiap orang datang dengan suasana hati dan pikiran yang berbeda. Dengan impian dan angan yang berbeda. Dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Menjadi sempurna bukan ketika segelas minuman dibanderol tinggi, atau dilabel nama prestisius. Melainkan ketika setiap tetesnya punya makna tersendiri bagi yang meminum. Tidak sekadar melegakan haus, tapi juga menerbitkan kesadaran. Aku sendiri bukan sahabat kopi. Karenanya hanya bilik teh yang menjadi wilayah kekuasaanku.

“Al, ini teh yang kau pesan tadi.”
“Teh apa jadinya, Lu?”
“Basicly, ini spicy tea. Teh hitam Jawa yang diseduh ringan, dicampur sedikit sereh, lemon, dan madu kapuk randu. Kalau ia mau gula, kasih yang gula batu, ya.”
“You’re the best, Lu.”

Al? Ia coffeeholic. Setahuku, ia jarang menyesap teh. Pun ketika kami semua sedang menikmati jamuan bersama karyawan yang lain. Kopinya kuat, entah jenis apa. Campurannya dedaunan rempah kuno. Aku tak mengerti kopi. Terlalu berkesan gelap dan keras. Meninggalkan jejak yang seolah memang ingin nampak. Namun, sejak kemarin aku menjadi terobsesi dengan kopi. Tepat setelah Al mengungkapkan hadiah ulang tahun yang diinginkannya.
***

“Sebentar lagi aku ulang tahun, nih, Lu. Kasih kado dong.”
“Memangnya kamu mau kado apa, Al?”
“Racikan kopi yang bisa bikin El menerima cintaku. Buatin dong, Lu.. .”
“Aku kan ga ngerti tentang kopi, Al.”
“Ayolah, Lu.. .”
“Hemm, kucoba dulu, ya.”
“You’re the best, Lu!”

Dus. Segelas kopi. Untuk El. Seperti memaksaku menelan biji kopi mentah-mentah. Detik itu juga aku butuh secangkir teh. Kujerang setengah ketel air. Memilih teko porselen coklat tua bermotif huruf arya purba. Sesaat sebelum ketel berbunyi, kutuang sedikit air panas ke dalam teko, agar suhu teko siap menerima kejutan limpahan air berikutnya, dan membuangnya. Aku memilih early grey yang kental dan kuat. Cukup kuat untuk menampar dan menyadarkanku. Tanpa gula. Gula hanya candu yang mengelabuhi kenyataan.

Seteko tandas. Tak juga bisa kuhilangkan ia dari benak nyalangku. Kuseduh lagi segelas besar teh tubruk dari puncak Guci yang pahitnya terasa lebih menggigit. Kuteguk tanpa merasai. Seperti manipulasi diri yang coba kulakukan serapi mungkin berbulan-bulan ini. Membatu-bisu seolah pandangku padanya tak ada beda. Padahal nanar kerap kulayangkan tiap ia berkelebatan dari satu meja ke meja yang lain. Mengurai sendu seolah imajiku semu, padahal mimpi demi mimpi kerap merajai meski sekedipan. Aku tak lagi mampu bersirobok tatap. Bahkan lensa baru ini pun kupilih agar ia tak tahu bahwa aku tak pernah jenak di sekitarannya.
***

“Selamat ulang tahun, Al, semoga bahagia adalah hari-harimu.”
“Terima kasih, Lu, kadonya mana?”
“Tenang, itu sudah kusiapkan. Tinggal dibawa dan dituang saja untuk El.”
“Dijamin?”
“Dijamin.”
***

Diam-diam kutuang kopi ramuan itu ke gelas kopi pagi Al. Diam-diam kutuang kopi biasa saja ke termos kecil untuk El. Seperti Al yang diam-diam memimpikannya. Aku pun sama. Diam-diam bermimpikannya.

Namun, kami berbeda. Biarlah ia tetap menjadi bintang yang terlihat gemerlapnya saat malam, dan bukan saat matahari berjaya. Agar bisa selalu membuatku tersenyum syahdu setiap menatapnya di kegelapan. Maka, tentu saja tak kulakukan hal itu. Kopi ramuanku tetap kuberikan untuk dianya. Agar senyumnya kan selalu terbit. Agar bahagianya menjadi nyata. Dan biarlah aku tetap bermandi mantra cinta, diam-diam.


*untuk para "diamers", ada kalanya diam adalah yang terbaik, ada kalanya diam tak lagi mampu dibendung, ada kalanya berseimbang antara diam dan mengungkap adalah yang lebih elok. selamat diam-diam! :)