Dear You,
Tahukah engkau, sebelum keputusan untuk ikut bergabung dalam tim ekspedisi pulau-pulau terluar Nusantara itu kuambil, hal apa yang memberati kata "ya" untuk keluar dari bibirku? Adalah kamu dan candu sentuhan ujung jemari kita. Berhari-hari mengarung laut dan samudra, tanpa beroleh detik untuk bertukar tatapan denganmu, mampukah aku?
Ya, biasanya aku tak berat untuk mengambil peluang agar ranselku kembali tersandang, agar dahaga menjejak tanah baru terpuaskan, agar pundi-pundi pengetahuan baru kembali sesak terisi.
Ya, biasanya aku tak berpikir panjang untuk mengambil kesempatan agar bisa bercengkerama dengan pemilik negeri asing, agar bisa khusyuk mendengarkan cerita tentang legenda keberadaan mereka, agar bisa menerbitkan liur menyantap hidangan lezat dari dapur mereka.
Ya, biasanya aku tak berat hati untuk berjibaku mengejar pesawat, kereta, taksi, kapal, perahu, ojek, kano, cidomo, andong, dan apa pun segala moda transportasi lain agar senyum lega mekar karena akhirnya berhasil mencapai titik tujuan.
Ya, biasanya aku tak irit waktu untuk mengejar peluang menangkap pemandangan penuh pesona ke dalam kotak penyimpan gambar elektronik yang kita sebut kamera.
Ya, biasanya perjalanan adalah salah satu petualangan dalam hidupku. Perjalanan adalah caraku mencari jawab segala tanda tanya yang berjubelan dalam bilik kepala. Perjalanan adalah caraku memahami seperti apa rasanya merindukan rumah. Perjalanan adalah caraku mengatup telapak kesyukuran kepada Sang Dharma. Perjalanan adalah caraku menjadi manusia.
Biasanya. Kini tak lagi.
Dear You,
Terasakah olehmu, ketika duduk teralun ombak Laut Cina Selatan, melempar pandangan ke hamparan laut yang biru tua beratap gemendung langit Kepulauan Anambas, berteman cericip camar laut yang tak jenak menangkapi bilis-bilis mungil, sembari paru disegari udara segar dingin beraroma asin, jemariku tak henti mengetuki papan kayu kasar bergurat masa. Mengingatimu. Menyebut namamu dalam diam muka pucat.
Aku merindu.
Rindu riuh tawa kita membicarakan apa saja. Rindu perdebatan kecil kita dalam diskusi tentang kehidupan. Rindu canda jailmu yang tak pernah bosan menggodaku hingga terbit mentari di kedua bela pipiku. Rindu senandung slow rock 80-an yang kau gemari itu. Rindu mata terakotamu yang menatap mata cokelatku dengan penuh kasih. Rindu kecup kecilmu sebelum aku berangkat pergi.
Kerinduan yang kucari tajuknya hingga berpindah destinasi menyusuri Samudra Hindia.
Kala tubuh menggigil dingin dalam balutan mantel hujan hijau tua, diterpa hujan deras yang menemani perjalanan menuju Mentawai, aku mengingatimu. Kala pandangan beradu dengan atap langit malam di atas kepala, yang terus bercucuran deru air langit, aku terkenang akan kita. Kala senyum terbit menyapa mentari pagi yang tak pelit sinar hangat di ujung dermaga Tua Pejat, aku mulai meyakini suatu hal.
Di tepian batas Nusantara, ketika 12 mil lagi adalah laut bebas yang bukan milik tanah air lagi, sebelah tanganku mendekap bagian tubuh yang di kedalamannya tersimpan sebentuk hati berdenyutan. Menyadari bahwa hanya tinggal separuh hati saja yang tersisa di sana.
Separuhnya lagi telah bertukar tempat, dengan milikmu.
Dear You,
Pada akhir perjalanan, ketika tubuh kembali terguncang dalam sebarang moda transportasi menuju ibu kota, hati menghangat nyaris membara. Antusiasme membumbung lebih dari biasa. Lebih dari keasyikan berkemas barang atau berpindah lokasi.
Pulang menjadi lebih syahdu dari biasanya. Dahulu aku pulang kepada kepergian yang lain. Kini aku pulang kepada satu pemahaman.
Engkau yang kumau sebagai tempatku mendermaga. Melabuh mimpi dan masa depan. Bersauh rindu dan mungkin juga... cinta....
Would you be, my travelmate? In life, in love, in long journey....