Pages

Kamis, 28 November 2013

Simple


Berlaku sederhana bagi kebanyakan manusia modern, rasanya sama sulitnya dengan mencari seporsi nasi jagung berlauk ikan asin goreng dan urap daun turi di supermarket berlabel komoditas impor. 

Sebegitunyakah?

Sederhana berubah menjadi kata ajaib yang dianggap cuma ada dalam KBBI. Segala sesuatu harus super rumit dan sophisticated, sebanding dengan gadget yang disesaki dengan segala aplikasi yang entah dimengerti entah tidak. Telepon genggam yang cuma monochrom bisa telepon bisa berkirim pesan, dianggap terlalu sederhana. Terlalu sederhana berarti kurang canggih menyejajari pola kehidupan mereka yang multitasking. Semakin multitasking seseorang, dianggap semakin modern. Apa-apa yang tampak sederhana, dirasa patut dicurigai. 

Ah, ah....

Ironisnya, dalam melirik lingkungannya pun, manusia modern ini bersikap sama. Kesederhanaan alasan tak bisa diterima, melulu dicari-cari celahnya, dianggap bagian dari rekayasa, konspirasi, aksi balas dendam, bahkan evolusi. Aih! 

Hati-hati, semakin tak bisa sederhana melihat semesta, semakin tak sederhana pula cara kita menghirup napas segar yang berlimpah ini :) 

Senin, 18 November 2013

See You When I See You



Meski sudah mulai terbiasa, mengecup tanganmu setiap turun dari Marcell yang mengantarku merangkai mimpiku pada pagi hari, sekaligus melepasmu terbang memahat mimpimu, tetap saja terasa.... sepa.

Seperti teh tanpa gula yang diseduh dari air dispenser. Terasa kurang.

Saat membuka pintu rumah, dan mendapati di dalamnya hanya ada aku dan reid dan beruang-beruang penghuni sofa merah itu, rasanya seperti ingin berdiam diri sampai pagi datang lagi.

Lekas pulang, jika pahatan mimpimu sudah tuntas. Akhir pekan, akan kita nikmati seperti biasa. Dengan sepoci teh, tumpukan komik, senandung Payung Teduh, hangatnya selimut merah, dan rindu yang berdeburan.

Merindumu.

Kamis, 14 November 2013

My Cha



Kamu tahu, mengapa aku tertegun menatap kepingan tutup cangkir teh kesayanganku yang tanpa sengaja kujatuhkan?

Ya, memang, salah satunya karena cangkir itu kubeli di sebuah museum teh yang kukagumi di seberang Laut Cina Selatan. Museum kecil berlantai dua yang nyaman di bawah rimbunan pohon di tengah taman kota negeri itu. Cangkir teh yang kupilih hati-hati hingga menghabiskan waktu nyaris satu jam untuk hanya berdiri terpaku di depan deretan cangkir teh buatan tangan. Aku suka lukisan bunga ungu berpadu merah muda di bagian depannya, dengan warna dasar putih yang mendominasi.

Cangkir teh kesayanganku, yang baru kupakai ketika pindah ke rumah kita. Semacam perayaan kecil.

Tapi, bukan karena susahnya cangkir itu kuperoleh yang membuatku sedih dan memandangi pecahannya yang kau kumpulkan untuk dibuang. Namun, karena aku tak bisa lagi menyeduh teh untukmu dengan cangkir kesayangan. Tak hanya seseduh teh yang ingin kusajikan untukmu, tetapi juga seteguk sejarah perjalananku.

"Tak apa, nanti kita pergi ke sana berdua, ya, beli cangkir yang baru. Kan masih ada cangkir lainnya," ujarmu sambil mendekapku yang kehilangan ekspresi di dapur beranda belakang. 

Kamu tahu betapa aku menikmati aktivitas minum teh, mengumpulkan aneka jenis teh dari mana saja, dan juga menjerang air untuk menyeduh secangkir buatmu. Teh hijau bermadu saat pagi hari sebelum kamu berangkat ke kantor. Teh buah blackcurrat bergula saat sore hari menikmati senja. Teh hitam bercengkeh untuk malammu yang letih. Teh merah bersereh untuk hari-harimu yang bertumpuk jadwal.

Kamu tahu, mengapa aku terkadang memanggilmu "My Cha"? Di Cina, mereka biasa menyebut teh dengan kata "cha", di Jepang dengan "ocha", di India dan Thailand dengan kata "chai". Kamu dan secangkir cha punya satu kesamaan: menghangatkanku. My lovely Cha.

Selasa, 05 November 2013

Letter From Outer Islands


Dear You,

Tahukah engkau, sebelum keputusan untuk ikut bergabung dalam tim ekspedisi pulau-pulau terluar Nusantara itu kuambil, hal apa yang memberati kata "ya" untuk keluar dari bibirku? Adalah kamu dan candu sentuhan ujung jemari kita. Berhari-hari mengarung laut dan samudra, tanpa beroleh detik untuk bertukar tatapan denganmu, mampukah aku?

Ya, biasanya aku tak berat untuk mengambil peluang agar ranselku kembali tersandang, agar dahaga menjejak tanah baru terpuaskan, agar pundi-pundi pengetahuan baru kembali sesak terisi.

Ya, biasanya aku tak berpikir panjang untuk mengambil kesempatan agar bisa bercengkerama dengan pemilik negeri asing, agar bisa khusyuk mendengarkan cerita tentang legenda keberadaan mereka, agar bisa menerbitkan liur menyantap hidangan lezat dari dapur mereka.

Ya, biasanya aku tak berat hati untuk berjibaku mengejar pesawat, kereta, taksi, kapal, perahu, ojek, kano, cidomo, andong, dan apa pun segala moda transportasi lain agar senyum lega mekar karena akhirnya berhasil mencapai titik tujuan.

Ya, biasanya aku tak irit waktu untuk mengejar peluang menangkap pemandangan penuh pesona ke dalam kotak penyimpan gambar elektronik yang kita sebut kamera.

Ya, biasanya perjalanan adalah salah satu petualangan dalam hidupku. Perjalanan adalah caraku mencari jawab segala tanda tanya yang berjubelan dalam bilik kepala. Perjalanan adalah caraku memahami seperti apa rasanya merindukan rumah. Perjalanan adalah caraku mengatup telapak kesyukuran kepada Sang Dharma. Perjalanan adalah caraku menjadi manusia.

Biasanya. Kini tak lagi.

Dear You,

Terasakah olehmu, ketika duduk teralun ombak Laut Cina Selatan, melempar pandangan ke hamparan laut yang biru tua beratap gemendung langit Kepulauan Anambas, berteman cericip camar laut yang tak jenak menangkapi bilis-bilis mungil, sembari paru disegari udara segar dingin beraroma asin, jemariku tak henti mengetuki papan kayu kasar bergurat masa. Mengingatimu. Menyebut namamu dalam diam muka pucat.

Aku merindu.

Rindu riuh tawa kita membicarakan apa saja. Rindu perdebatan kecil kita dalam diskusi tentang kehidupan. Rindu canda jailmu yang tak pernah bosan menggodaku hingga terbit mentari di kedua bela pipiku. Rindu senandung slow rock 80-an yang kau gemari itu. Rindu mata terakotamu yang menatap mata cokelatku dengan penuh kasih. Rindu kecup kecilmu sebelum aku berangkat pergi.

Kerinduan yang kucari tajuknya hingga berpindah destinasi menyusuri Samudra Hindia.

Kala tubuh menggigil dingin dalam balutan mantel hujan hijau tua, diterpa hujan deras yang menemani perjalanan menuju Mentawai, aku mengingatimu. Kala pandangan beradu dengan atap langit malam di atas kepala, yang terus bercucuran deru air langit, aku terkenang akan kita. Kala senyum terbit menyapa mentari pagi yang tak pelit sinar hangat di ujung dermaga Tua Pejat, aku mulai meyakini suatu hal.

Di tepian batas Nusantara, ketika 12 mil lagi adalah laut bebas yang bukan milik tanah air lagi, sebelah tanganku mendekap bagian tubuh yang di kedalamannya tersimpan sebentuk hati berdenyutan. Menyadari bahwa hanya tinggal separuh hati saja yang tersisa di sana.

Separuhnya lagi telah bertukar tempat, dengan milikmu. 

Dear You,

Pada akhir perjalanan, ketika tubuh kembali terguncang dalam sebarang moda transportasi menuju ibu kota, hati menghangat nyaris membara. Antusiasme membumbung lebih dari biasa. Lebih dari keasyikan berkemas barang atau berpindah lokasi.

Pulang menjadi lebih syahdu dari biasanya. Dahulu aku pulang kepada kepergian yang lain. Kini aku pulang kepada satu pemahaman. 

Engkau yang kumau sebagai tempatku mendermaga. Melabuh mimpi dan masa depan. Bersauh rindu dan mungkin juga... cinta....

Would you be, my travelmate? In life, in love, in long journey....

Gazal: Jalad Kata



Hujan di penghujung temaram, deru deras mendadah lidah kelu kata
Lisan bergeming mengunci maksud yang berdesakan menyeruak kata
Napas mematah, sulur pikir bermusafir, harap sua penafsir kata
Duli puan bijak bestari, milikmukah secawan pengisap kata?
Hingga degupku hanya dentang, rinduku gemersak lontar, asing kata
Entah mantra Toraja atau sulur rasa, membuatku tersekat kata
Jemari membukai lembar papirus beraksara farsi, bimbang kata
Kesadaran tiba, yang terbaca jiwa, terindu raga, tak butuh kata


Ehem,

Ini hasil "tantangan" dari pemilik blog http://mairaby.blogspot.com/ Kata Maira, gazal berasal dari Persi-Arab. Gazal merupakan puisi lama yang terdiri atas delapan larik. Tiap larik terdiri atas 20-22 suku kata. Setiap larik mempunyai kata akhir yang sama. Gazal berisi masalah kebatinan yang tinggi. Kata saya, gazal berisi masalah kerinduan saya yang juga tinggi hehe.... 

Nb:
Bagi sang pemilik rinduku, rikues temanya sudah terbayar tunai, ya. Kita memang jarang berucap "kata itu", pertukaran tatapan dan sentuhan jemari menari terkadang lebih dari cukup untuk saling mahfum apa yang berdegupan dalam hati masing-masing. Mengaksara, kepadamu.