Sebut
saja ini dongeng, atau legenda, bahkan fiksi fantasi. Apa saja, tak jadi soal,
selama kau membacanya dengan membiarkan
sulur-sulur sihir mengalir dari ujung jemarimu. Ya, sihir, sihirmu. Kau tak
yakin punya? Ah, tampaknya kau terlupa bahwa setiap humani punya bilik kecil di
dalam hatinya, dengan rak-rak mahoni yang dipenuh berkantung serbuk sihir berbilang
warna. Pejamkan mata, bayangkan mata nanar-penasaran-takjub milikmu sedang
sibuk menatapi kantung-kantung itu. Pilih satu, mana saja yang kau suka.
Sudah? Benamkan jemarimu ke dalamnya, barulah kau
gunakan untuk meneruskan putaran roda tetikus.
Scroll down.
Scroll down.
Ini kisah penuh karrume
kuno, tentang Sira dan Sayl. Pada suatu masa, ketika
Toba-Meru-Krakatau-Dempo-Tambora masih menjadi tiang-tiang peyangga Atlantis
purba. Ketika matahari masih tampak bulat terang jelas di bentangan langit yang
belum lagi mengenal kelabu polutan. Ketika sekat-sekat samudra belum tercipta,
ketika satu dunia adalah hamparan negeri yang menyatu.
Sira, adalah seorang gadis pemagi dari tanah tinggi di
Negeri Utara. Bangsamu kini menyebut pemagi dengan kata “penyihir”, meski tak
banyak lagi, mungkin, yang memercayai. Dari ujung jemari miliknya, mengalir
sihir penyaman suasana. Ia bisa menyejuki satu ruangan yang dipenuhi aura ego
yang merah-panas-meletup. Ia bisa memadamkan bara amarah yang membakar bola
mata seorang pengangkara. Bahasa Tanah Barat menyebutnya “comforter”. Ia gemar duduk di tepian sungai Saddang, menikmati suara gemericik air yang selalu terburu-buru mencari muara akhir. Membiarkan rambut panjangnya yang keperakan berkibaran diembus angin Negeri Utara yang dingin sejuk.
Sayl? Gadis bermata cokelat itu seorang petarung dari
Kerajaan Maja. Kedua telapak tangannya digurati memori tentang latihan demi latihan yang menempanya sejak kanak-kanak. Sorotnya dingin, gerahamnya lebih sering mengatup keras. Berbaris pasukan menjadi bayangannya kini. Sesekali, ia akan duduk di atas kuda cokelat kemerahan miliknya, bergeming memandangi pasukannya berdencingan berlatih memanah dan menombak. Membiarkan ujung ikat kepalanya berkibaran diembus angin panas Tanah Timur.
Sama seperti tidak pernah ada humani yang tahu, ke arah mana dandelion kecil berpulang akhir, tak ada yang tahu juga bagaimana waktu menyusun anagram misterinya hingga entah Sayl entah Sira sejatinya tak pernah tahu bahwa pada suatu masa mereka akan bertemu di tengah negeri. Mulanya seteru, kemudian sekutu.
Bagaimana bisa? Tanyanmu, barangkali. Ya, awalnya mereka layaknya purnama dan matahari tengah hari, selalu bersilang jalan. Penguasa separuh waktu dunia. Sampai pada suatu ketika.... (bersambung)
Sama seperti tidak pernah ada humani yang tahu, ke arah mana dandelion kecil berpulang akhir, tak ada yang tahu juga bagaimana waktu menyusun anagram misterinya hingga entah Sayl entah Sira sejatinya tak pernah tahu bahwa pada suatu masa mereka akan bertemu di tengah negeri. Mulanya seteru, kemudian sekutu.
Bagaimana bisa? Tanyanmu, barangkali. Ya, awalnya mereka layaknya purnama dan matahari tengah hari, selalu bersilang jalan. Penguasa separuh waktu dunia. Sampai pada suatu ketika.... (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar