Pages

Senin, 24 Juni 2013

TEALOSOPHY


Jikalau setengah lebih penduduk Negeri Shire membuka pagi dengan roti hangat yang mengepul dan seteko air madu kayu randu, berkilometer dari pusat negeri ada sebuah desa kecil berkitar laut biru yang membuka pagi dengan satu pertanyaan, “Kapankah Selasa tiba?”

Pergilah ke sana saat Selasa menghampiri. Hari ketika langit entah mengapa berubah makin lazuardi. Hari ketika matahari bersolek secantik bunga bernama sama, emas menawan. Malam sebelumnya, para muda desa memenuhi buku harian yang mereka sembunyikan di bawah tumpukan bantal dengan bait-bait syair atau ungkapan isi hati tentang apa yang akan mereka cari jawabannya pada hari Selasa. Itulah hari ketika kedai teh berkanopi merah di terasnya memasang kembali papan bertulis:

“Tealosopher, Buka Setiap Selasa Sore. Secangkir Teh, Penyingkap Tanda Tanya”

Ah, semacam perunut garis tangankah ini? Atau pemutar bola kristal bertudung gipsi? Bukan, bukan, hanya seorang peracik teh, dengan keahlian tak biasa yang menyulap Selasa milik desa terpencil itu menjadi selalu didamba lebih dari purnama.

Kedai teh itu tanpa nama. Sudah ada entah sejak kapan. “Sudah ada ketika desa ini ada,” begitu menurut pak tua berkemeja tartan rapi pemilik toko roti. “Begitu saja muncul selepas badai hebat berpuluh tahun lalu,” begitu anggapan seorang nenek pemilik toko bunga yang selalu beraroma lavender. Kanopi merahnya mudah dikenali di antara jajaran kedai dan toko kecil di pusat keriuhan desa.

Suatu hari, seorang gadis bersepatu ungu entah dari mana datang ke desa itu. Pengelana tampaknya. Kedai berkanopi merah adalah tempat pertama yang disapanya. Konon, sang pemilik kedai yang selama ini dikenal tak pernah mau mempekerjakan asisten, begitu saja menerima sang gadis yang bertanya pekerjaan. Dua pekan setelahnya, pada suatu Selasa pagi, muncullah papan pengumuman itu, yang menimbulkan kernyit tanda tanya dan cibir sangsi penduduk desa yang membacanya. Kabar tersiar lebih cepat dari bintang jatuh. Sore pertama sang tealosopher muncul, antrean di depan kedai mengular hampir sampai dermaga.

Sudah hampir dua musim, dengan hari Selasa yang menjadi semeriah hari raya. Pendatang dari desa tetangga tak jarang datang dan mencoba peruntungan. Sejak pagi, ceria menjadi latar suasana utama desa itu. Rama-rama beragam warna berterbangan dan hinggap di sana-sini, yang hanya terjadi pada hari Selasa. Semua kedai dan toko memajang pot-pot bunga berjenis wangi sepanjang hari. Udara yang berpadu dengan harum bunga, terasa segar beromansa. Membuai sesiapa saja yang menghirupnya untuk menarik sudut bibir dan tersenyum, terbayang impian dan cinta yang memenuhi rongga dada.

Apa yang sebenarnya dilakukan orang berjuluk “tealosopher” itu? Siapa dia? Tak lain adalah si gadis bersepatu ungu itu. Sihir kecil yang dilakukannya sederhana saja pada mulanya.

Dua musim lalu, pada suatu Selasa, kedai teh berkanopi merah tampak seperti biasa, disinggahi pengunjung setia dan beberapa pelancong yang berharap pelepas dahaga. Sang gadis yang mulai dipercaya menjadi peracik, menggantikan pemilik kedai yang sibuk menulis laporan keuangan dan mengecek stok, berdiri di belakang meja layan sembari berpikir kombinasi apa lagi yang bisa disajikan kepada para pecinta teh di desa itu. Sejak sang gadis datang ke desa, kedai ini memang dikenal dengan racikan tehnya yang bercampur rempah, bunga, dan buah kering. Setiap pengunjung boleh memilih campuran mana yang disuka, atau menyerahkan sepenuhnya pada rekomendasi si peracik.

Di tengah pilihan antara mencampur teh oolong dengan kapulaga atau adas manis, seorang perempuan muda datang menghampiri si gadis peracik. Duduk di kursi kayu tinggi di hadapannya. Menghujaminya dengan tatapan setengah memohon setengah menuntut, yang membuat si gadis nyaris menebarkan ke atas meja sesendok daun teh kering yang sebelumnya ia pegang.

“Engkau penyihir? Pasti. Berikan mantramu. Keluarkan tongkat saktimu. Mana itu bola kristal yang biasa dibawa-bawa kaummu?” cecar perempuan bertunik merah tua itu tiba-tiba.

“Penyihir? Anda mungkin salah tempat. Pasar malam ada di ujung desa. Tenda-tenda berlukis bintang dan para pembaca kartu ada di sana. Di sini hanya ada toples-toples teh dan rempah kering. Anda mau secangkir, barangkali?” jawab si gadis peracik dengan nada suara yang datar tak beriak.

“Apakah itu teh penuh sihir?” tuntut si tunik merah tua, tetap dengan anggapan awalnya.

“Mungkin. Apa teh kesukaan Anda?” tanya si peracik sambil menatap perempuan itu tepat di kedua matanya.

“Eh, teh kesukaanku? Oh, apakah aku punya teh kesukaan? Sebentar, aku biasa minum teh hitam kental berampas dengan sedikit gula kristal. Tapi, aku tak suka teh jenis itu sesungguhnya. Aku suka harum teh melati yang bisa diseduh nyonya bergaun renda yang tinggal di sebelah rumahku. Tapi, di rumah tak pernah ada yang menjerang teh segar semacam itu, yang ada hanya seduhan teh kemarin, atau kemarinnya lagi,” ujar si tunik merah tua panjang lebar, dengan sorot mata yang menyimpan seberkas nestapa.”

“Tunggu di sini,” ucap si peracik, sembari menghilang ke dalam bilik stok di belakang meja layan.

“Aku perlu mantra, bukan seduhan minuman daun kering,” gerutu si tunik merah tua lirih.

Udara di sekitar meja layan tiba-tiba dipenuhi wangi jeruk yang baru dikupas, bercampur pahit tipis khas daun teh yang diseduh dengan air tiga perempat mendidih. Ehm, bukan itu saja, ada lagi aroma tambahan, aroma bunga melati yang harum elegan. Ah, tampaknya ini wangi hasil karya sang peracik.

Aroma magi itu sungguh tak terbendung, menguar ke penjuru kedai, membuat semua pengunjung tanpa sengaja melemparkan pandang sesaat ke arah meja layan. Membuat si tunik merah tua tiba-tiba terdiam dari gerutu. Jemarinya yang kurus panjang bergetar.

Sang peracik pun keluar dari bilik penyimpanan. Dengan nampan kecil berisi cangkir porselen berwarna pelangi, yang mengepulkan uap panas yang seolah ikut berwarna-warni. Ia meletakkan cangkir itu di hadapan si tunik merah tua. Membiarkan uap panas itu menyapa lembut kedua pipi yang juga kurus pucat. Ia seperti memerintahkan serdadu racikannya untuk memberi atraksi pembuka jamuan minum.

“Ini untukku? Teh wangi ini?” tanya perempuan itu tergagap.

“Benar. Silakan. Hirup terlebih dahulu. Sesap perlahan kemudian. Jangan lupa, rapalkan dalam hati satu permintaan saat paduan aromanya Anda hirup dalam-dalam. Rapalkan harapan kedua saat sesapan pertama menyentuh lidah dan mengalir memasuki rongga tubuh. Rapalkan mimpi ketiga saat tegukan pertama itu mengalir bersama darah, menyebar menghangatkan diri. Silakan,” jawab si peracik, dengan penjelasan aneh yang belum pernah didengar si gadis bertunik sebelumnya, terlihat dari raut tak mengerti yang sekejap memenuhi wajah syahdunya.

“Oh, oke,” jawab si tunik merah tua pasrah.

Dilakukannya tepat seperti urutan yang dijelaskan si peracik. Dihirupnya kombinasi tiga unsur yang bersenyawa menjadi wangi yang dalam tak terperi.

“Ini, teh melati. Seperti teh milik nyonya bergaun renda. Tapi, lebih wangi, tak tertahankan. Kau mencampurkan kulit jeruk, bukan? Kulit jeruk oranye cerah seperti yang dijajarkan di kios nona bersenyum manis di alun-alun desa, yang segarnya membuatku betah berlama-lama berdiri di dekat kiosnya. Membuatku berharap suatu saat nanti bisa pergi dari desa ini untuk menjadi petani jeruk dengan hamparan oranye berhektar jumlahnya. Tunggu, teh apa ini?” cecar si perempuan, yang entah mengapa terlihat sedikit lebih bernyawa dibandingkan sebelumnya.

Si peracik diam saja. Tetap menatap perempuan di hadapannya lekat-lekat.

“Oke, kau tak mau membagi rahasia. Biar aku sesap sekarang,” ujar perempuan itu lagi sambil mendekatkan cangkir itu ke bibir tipisnya. Disesapnya perlahan. Dibiarkannya seteguk racikan gadis asing itu meluncur memenuhinya. Berjalinan dengan darah dan udara. Menyapa setiap organ penyusun keberadaannya.
Hening meliputi keduanya. Satu sesapan dan perempuan itu meletakkan kembali cangkir tehnya. Ia terdiam. Beberapa detik kemudian, ia terisak lirih. Jari-jari kurusnya bergetaran di atas meja layan. Seperti memainkan piano maya dengan gubahan seorang prodigy.

Si peracik tersenyum. Tatapannya melembut.

Tunggu, wajah perempuan bertunik merah tua itu bersemburat merah! Ia terlihat lebih hidup. Seulas senyum tipis menghiasi rautnya yang ternyata…memesona. Nyaris aristokrat.

“Ini teh hitam yang sudah diseduh lama, bukan? Seperti yang biasa kuminum di rumah. Aku tak tahu kalau teh kemarin pun bisa semagis ini rasanya jika berpadu dengan unsur lain. Ah, aku tahu. Sudah saatnya aku berubah, bukan? Tak lagi meratapi diri karena terlahir dari keluarga semacam itu, tanpa mau berusaha mencari jalan lain. Aku bisa menjadi pemilik berhektar kebun jeruk itu, bukan?” ucap sang perempuan nyaris dengan gelak kecil yang mengubah sosok sendunya yang setengah jam lalu hadir di hadapan si peracik.

Si peracik tetap diam tak bersuara. Hanya senyum lega dan sorot mata yang sekejap tadi terlihat seperti dipenuhi damba, yang tiba-tiba berubah lagi menjadi sorot bahagia yang samar.

“Terima kasih. Aku tahu harus melakukan apa setelah ini. Aku tak perlu mantra-mantra dan segala sihir itu. Sampai jumpa lagi,” ujar si perempuan sembari sekilas menumpangkan kedua telapak tangannya di atas punggung tangan si peracik, lalu turun dari kursi tinggi itu dan berlalu keluar kedai.

Perempuan itu tak sempat merasakan, gemetar tangan si peracik dan sorot mata yang terkejut serta dipenuhi…cinta? Perempuan bertunik merah tua itu mungkin tak akan pernah tahu jika si peracik sebenarnya adalah putri yang bertahun lalu meninggalkannya dengan janji dua remaja mula yang digelung cinta bertanda tanya.

Aku mau mantra! Aku mau sihir! Aku mau bahagia! Sayangkah kau padaku? Bisakah kau cari sihir itu?
Pasti bisa! Akan kucari keluar desa. Tunggu aku, ya. Mengembara ke negeri terujung pun akan kujalani. Jangan ke mana-mana. Akan kubawa sihir itu!


Perempuan bertunik merah tua itu tak pernah kembali lagi ke kedai. Menurut beberapa warga, pada suatu malam ia terlihat berjalan kaki keluar desa, dan tak pernah terdengar lagi kabarnya. Ada desas-desus yang mengatakan kalau perempuan itu sekarang menjadi pemilik berhektar kebun jeruk manis yang dikirim ke seluruh penjuru negeri.

Sejak saat itu, si peracik meminta izin pada sang pemilik kedai, untuk menjadikan hari Selasa sebagai hari konsultasi gratis bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan baru lewat jalan racikan teh. Ia berharap, suatu hari nanti perempuan bertunik marun itu akan muncul lagi di hadapannya. Pada hari itu, ia akan menyeduh racikan yang berbeda. Racikan yang mampu membuat perempuan itu mengingatinya. Mengerti rasanya. 
***

1 komentar:

muse mengatakan...

teh mmg slalu punya caranya sendiri yg bkin ngangenin :D

Posting Komentar