Pages

Selasa, 23 Juli 2013

Teaology



Jika ditanya, setelah Tuhan, buku, kekasih hati, dan perjalanan, apa yang sanggup membuat saya abai dengan dunia beserta isinya? Tidak berani menebak? Bukan, bukan outfit terbaru, bukan juga kulineri super lezat. Teh. Teh? Ya, teh.

Pernahkah kau mendengar cerita tentang “revolusi teh” yang dilancarkan oleh para perempuan Inggris berzaman lampau? Tidak? Maukah sekadar mengingati lagi sejarah kecil itu? Saya janji, tak akan lama.

Kala itu, para lelaki Inggris sedang dimabuk aroma pahit membius yang dari biji-bijian yang baru saja mereka bawa dari Asia Barat. Kohwah. Kita mengenalnya dengan nama: kopi. Demam kopi menjangkiti hampir semua lelaki Inggris, terutama para bangsawan dan politisi negeri. Kedai kopi mulai bertaburan, persis seperti kedai kopi lucu yang sekarang pun familier menjadi pemandangan mata kita.

Kopi menjadi sumber adiksi. Para suami tak pulang, para lelaki enggan beranjak dari gelas demi gelas di meja kedai yang berisi seduhan pekat kopi Arab. Entah berapa banyak strategi, kesepakatan, intrik, bahkan skandal yang digagas dari meja-meja itu.

Makmurkah Inggris karenanya? Sebaliknya. Revolusi mulai memanas, dari dapur-dapur dan ruang rias para duches. Tuntutannya cuma satu: tutup semua kedai kopi! Kedai kopi mencuri para lelaki mereka. Mereka pun bersiasat, merancang manifesto dan strategi operasi lapangan. Hasilnya?

Teh-teh diseduh, acara minum teh sore resmi diluncurkan sebagai strategi taktis membawa lelaki mereka kembali ke dalam pelukan keluarga.Berhasilkah? Kedai-kedai kopi ditutup. Tamat riwayatnya tradisi minum kopi yang baru seumur jagung itu. Sebagai gantinya, setiap rumah punya tradisi baru, minum teh sore ditemani kue-kue dan penganan ringan.

Sejak itu, acara minum teh menjadi ikon Inggris. Sama tersohornya dengan Oasis (sorry, saya tidak mencontohkan One Direction, bagi saya pemusik nomor wahid Inggris tetap Oasis #sikap) dan Platform 9 ¾.

Teh bagi saya seperti kekasih yang terkadang tak selalu ada di sisian. Teh pekat bergamot menemani malam-malam panjang penuh kejaran deadline. Teh rempah merelaksasi pikiran setelah hari yang penuh letih. Teh hijau membuka pagi dengan syahdu dan damai. Teh buah dingin menerbitkan senyum cerah setelah berpanas diteriki matahari. Teh susu mendatangkan lelap kala mata tak mau juga memejam. Teh cokelat hangat mengalirkan ide ketika jemari tak menemukan jalan untuk membuka pekerjaan. Ah, selalu ada racikan teh yang bisa diseduh untuk menemani setiap suasana.

Ya, saya termasuk penyeduh super egois, saya biasanya hanya menikmati sendiri semua racikan saya. Enggan berbagi. Biasanya, jikalau ada teman yang datang, saya hanya menyeduh pilihan standar saja. Kini? Yang pasti, racikan teh saya sudah menemukan penyesap barunya. Penyesap yang selalu menerima sodoran cangkir hangat mengepul yang saya hulurkan. Tanpa peduli apa isinya dan apa rasanya. Would you be my teamate, then, Penyesap? 




1 komentar:

muse mengatakan...

sama dong raf.. saya juga suka banget minum teh.. apalagi teh tarik..wooowww.. :D

Posting Komentar