Saya sedang merayakan, merayakan sejarah yang dahulu dicatatkan bersama di langit-langit maya, tetapi kini terempas dan terpecah berkongsi-kongsi.
Pada suatu titik, manusia adalah kanibalis yang sangat omnivoris. Tak cukup segala uba rampai yang bisa ia santap lahap-lahap, rasa lapar dalam diri purba manusia membuatnya tak segan menyantap sesuatu yang membuatnya disebut makhluk: ingatan. Sejarah.
Entah hymne entah ode yang akan saya pilih untuk didendangkan. Ode untuk serabut-serabut ingatan milik saya dan orang yang pernah berbagi senyum bersama saya, yang sekejap mata diremas hingga meremah begitu saja. Padahal saya masih menyimpannya rapi, masih mengingatinya dengan takzim. Sebagai bagian dari pembentuk sel-sel kelabu baru selepas kepergian saya. Saya tak mengubahnya, pun tak mengkapitalisasinya.
Lantas hymne untuk apa? Untuk menemani sedih yang membayangi pelupuk mata. Sedih karena ingatan ini ternyata tak lagi sama, sudah berubah menjadi dua cerita. Ia lupa, cerita hanya bernyawa satu, ketika dicerabut dan dibelah dua, ia akan kehilangan ruh dan membatu. Tak ada lagi cerita, tak ada lagi ingatan, tak ada lagi sejarah.
Hanya ego yang membatu.
Maka, biarkan saya bersenandung lirih. Melantun ode bernada hymne. Melarung pundi-pundi ingatan saya ke samudra. Memulangkannya kepada Neptunus, yang dahulu pernah mengirimkannya kepada saya.
Tak ada lagi ingatan tentangmu, perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar