Pada suatu ketika, saya pernah terdiam dan memaku fokus kepada salah satu makhluk mitos dalam serial Harry Potter. Dementor. Selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa Dementor adalah makhluk pengisap kebahagiaan seseorang, meninggalkan sang korban dalam keadaan layu dan meratap. Bahagia dan mimpi-mimpi adalah hidangan lezat yang selalu diburu gerombolan hitam yang gentayangan ini.
Saya tergoda untuk berpikir di luar konteks. Apakah Dementor itu memanglah sesosok makhluk mitos, ataukah makhluk mitos itu tampil dalam sejarah manusia sebagai visualisasi ketakutan terdalamnya? Kecenderungan manusia adalah mengais-ngais remah-remah perihal di sekitarnya, setiap kali ia menghadapi problematika. Baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Mungkin itu spontanitas lahiriah. Apalagi jikalau ia merasa bahwa sejatinya permasalahan berakar dari kedalaman jiwanya sendiri.
Inilah yang biasa kita namakan: pelarian.
Ketika tak kuasa lapang memahami bahwa kitalah sang pemicu persoalan, sekumpulan asap berbayang hitam mulai terasa mengepul dari dalam kepala. Asap yang mencekami pikiran, menyelubungi hati, membuat kita tersilap dan menggigil ketakutan. Entah takut menerima kenyataan yang sudah hadir di depan mata, entah takut sang pihak kedua menyadari posisi diri kita, entah takut merasa lemah akibat sekali lagi membuat kesalahan yang sama. Semakin lama, asap hitam itu menghalusinasi pandangan, memetamorfosanya menjadi sosok melayang yang terlihat menjulang di hadapan.
Ketakutan yang maya menghadirkan ketakutan yang terlihat nyata.
Dalam bahasa latin, "dementor" berasal dari kata kerja "demento" yang bermakna kengerian alias ketakutan. Itulah, mungkin, yang membuat visualisasi sosok dementor tampak separuh nyata separuh maya. Sosok hitam menggantung di atas tanah, seperti ketakutan kita yang terus mengitari akal sehat dan membekap hati.
Dementor tak pernah orang lain, dia adalah diri kita sendiri. Kita sendirilah yang sebetulnya lebih sering mengisap mimpi dan kesempatan yang hadir di depan mata. Karena apa? Bisa jadi karena tak cukup bernyali untuk mengakui dari mana semua prahara berasal. Kita lebih memilih untuk memunculkan dementor-dementor dari dalam kepala kita, menjajarkannya di hadapan dan mulai bersikap seolah dementorlah yang menyesap habis kedamaian dan kebahagiaan kita. Kita bahkan tanpa sadar menyeret dementor itu ke depan mata sang pihak kedua, kemudian mulai membacakan daftar kesalahan sang dementor sebagai tertuduh utama prahara antara kita dengan sang pihak kedua.
Lengkap sudahlah ritual kita sebagai "necromancer", peniup napas kehidupan bagi sang dementor. Tanpa kita sadar, secabik jiwa kita ikut menjadi korban. Jalan terang di hadapan memburam. Mimpi-mimpi yang sebelumnya mulai terang, meredup.
Kita menggelapi sendiri jalan takdir kita yang sudah dibuka semesta.
Kita pasti ingat, Harry Potter dilatih membuat "patronus" untuk "memerangi" para dementor. Apakah berupa senjata fisik? Sekawanan prajurit? Tidak. Berupa ingatan paling bercahaya dalam diri kita. Apalagi yang bisa mengalahkan stigma selain kesadaran?
Menciptakan dementor hanya akan membuat kita lelah. Lelah abai pada masalah utama, lelah berjibaku dengan pengisap akan sehat yang terlanjur liar membayangi pelupuk mata. Lebih baik bernyali untuk memerangi diri sendiri, dibandingkan sibuk menebah-nebah tombak ke tubuh transparan sang dementor.
Well, am I your dementor?
0 komentar:
Posting Komentar