Pages

Kamis, 14 November 2013

My Cha



Kamu tahu, mengapa aku tertegun menatap kepingan tutup cangkir teh kesayanganku yang tanpa sengaja kujatuhkan?

Ya, memang, salah satunya karena cangkir itu kubeli di sebuah museum teh yang kukagumi di seberang Laut Cina Selatan. Museum kecil berlantai dua yang nyaman di bawah rimbunan pohon di tengah taman kota negeri itu. Cangkir teh yang kupilih hati-hati hingga menghabiskan waktu nyaris satu jam untuk hanya berdiri terpaku di depan deretan cangkir teh buatan tangan. Aku suka lukisan bunga ungu berpadu merah muda di bagian depannya, dengan warna dasar putih yang mendominasi.

Cangkir teh kesayanganku, yang baru kupakai ketika pindah ke rumah kita. Semacam perayaan kecil.

Tapi, bukan karena susahnya cangkir itu kuperoleh yang membuatku sedih dan memandangi pecahannya yang kau kumpulkan untuk dibuang. Namun, karena aku tak bisa lagi menyeduh teh untukmu dengan cangkir kesayangan. Tak hanya seseduh teh yang ingin kusajikan untukmu, tetapi juga seteguk sejarah perjalananku.

"Tak apa, nanti kita pergi ke sana berdua, ya, beli cangkir yang baru. Kan masih ada cangkir lainnya," ujarmu sambil mendekapku yang kehilangan ekspresi di dapur beranda belakang. 

Kamu tahu betapa aku menikmati aktivitas minum teh, mengumpulkan aneka jenis teh dari mana saja, dan juga menjerang air untuk menyeduh secangkir buatmu. Teh hijau bermadu saat pagi hari sebelum kamu berangkat ke kantor. Teh buah blackcurrat bergula saat sore hari menikmati senja. Teh hitam bercengkeh untuk malammu yang letih. Teh merah bersereh untuk hari-harimu yang bertumpuk jadwal.

Kamu tahu, mengapa aku terkadang memanggilmu "My Cha"? Di Cina, mereka biasa menyebut teh dengan kata "cha", di Jepang dengan "ocha", di India dan Thailand dengan kata "chai". Kamu dan secangkir cha punya satu kesamaan: menghangatkanku. My lovely Cha.

0 komentar:

Posting Komentar